Selasa, 08 Maret 2011

Perawatan Monitoring CVP dan Swans Ganz - Presentation Transcript

1. Oleh : ari pn Perawatan Pasien yang Terpasang CVP dan Kateter PA PUSAT JANTUNG NASIONAL HARAPAN KITA ICU SURGIKAL DEWASA 2010
2. Review CVP Tekanan vena sentral merefleksikan tekanan darah di atrium kanan atau vena kava (Carolyn, M. Hudak, et.al, 1998). Tekanan vena sentral merupakan tekanan pada vena besar thorak yang menggambarkan aliran darah ke jantung (Oblouk, Gloria Darovic, 2002).
3. Kegunaan CVP Line
o Mengetahui fungsi jantung
o Mengetahui fungsi ventrikel kanan
o Menentukan fungsi ventrikel kiri
o Menentukan dan mengukur status volume intravascular.
o Memberikan cairan, obat obatan, nutrisi parenteral
o Kateter CVP dapat digunakan sebagai rute emergensi insersi pacemaker sementara.
4. Jenis
o Single lumen
 long angiocath (16G,14G)
 catafix (375mm, 475mm)
 percutaneous sheath (7F, 8.5F)
 Swan sheath (8.5F)
o Multiple lumens
 2-,3-,4- lumen
5. Posisi
o Pandey J C, Dubey P K: A method for rapid clinical diagnosis of misplaced subclavian vein catheter (Letter). Anesth Analg, 2000; 90: 229.
6. Intepretasi Gelombang
7. Review Kateter PA Pemantauan hemodinamik menggunakan kateter arteri pulmonal diperkenalkan oleh Swans dan Ganz tahun 1970, sejak menggunakan dobel lumen, balon/ tipped, sampai lima lumen ditambah dengan kawat pacu jantung dan optikal kateter arteri pulmonal yang sekarang dikenal sebagai kateter arteri pulmonal
8. Kegunaan Kateter PA
o memonitor secara intermiten:
o curah jantung,
o menentukan RVEV dan EDV,
o secara kontinyu dapat memonitor RAV,
o saturasi oksigen vena campuran, pacing atrium dan ventrikel
o mengkalkulasi SVR, PVR, oksigen transport dan konsumsi, perbedaan arterio-venous oksigen dan fraksi shunt intra pulmonal.
9. Jenis
 Double lumen kateter arteri pulmonal
o Kateter termodilusi empat lumen
o Fiber Optik Termodilusi Kateter arteri Pulmonal
o Pace maker termodilusi kateter arteri pulmonal
10. Posisi
o Kateter Swan-Ganz (panah), melalui v. kava superior kiri menuju ke sinus koroner, melalui atrium kanan dan ventrikel kanan, dan masuk ke arteri paru-paru kanan
11. Intepretasi Gelombang
12. Intepretasi Gelombang
13. Optimalisasi Akurasi
o Tergantung setup
 Gunakan tubing yang tepat
 Bebas dari udara
 Koneksi-koneksi kencang
 Zero & Kalibrasi
 Posisi transducer
14. Pengalaman sehari hari
o Tidak zero balance
o Pressure bag low
o Tidak ada label pada lumen yang difungsikan
o Tidak pernah cek rontgen thoraks
o Tidak pernah mencoba merapikan jalur sehingga kadang cloth sebelum waktu aff
o Tidak memperlakukan area insersi CVP dan kateter PA sebagai area steril (Ingat : Kateter ini berhubungan langsung dengan darah dan masuk ke dalam jantung)
15. Pembenahan
o Tidak zero balance
Lakukan Zeoring dan Kalibrasi minimal 2 X dalam 1 shift jaga atau saat terjadi perubahan posisi pasien
16. Pembenahan
o Pressure bag low
Yakinkan bahwa pressure bag dalam tekanan yang semestinya
17. Pembenahan
o Tidak ada label pada lumen yang difungsikan
o Berilah Label pada masing masing lumen
o Berilah label tanggal pemasangan
o Bila pasien dipindahkan ke Intermediate, berilah label mencolok pada lumen bekas inotropik.
o Bila terdapat label rusak rekonfirmasi dengan label baru
o Kolaborasi dengan medik bila label menunjukkan telah melampaui kadaluarsa
18. Pembenahan
o Tidak pernah cek rontgen thoraks
Pernahkah kita menjumpai gambaran rontgen thorak seperti ini ?
19. Pembenahan
o Tidak pernah cek rontgen thoraks
o Segera laporkan bahwa CVP Line tidak semestinya (ke atas)
o Jangan digunakan untuk pengukuran
o Kolaborasikan ulang untuk pemberian terapi yang melalui CVP
20. Pembenahan
o Tidak pernah cek rontgen thoraks
Atau menjumpai gambaran rontgen thorak seperti ini ?
21. Pembenahan
o Tidak pernah cek rontgen thoraks
o Kolaborasikan bahwa ujung kateter PA tidak pada tempatnya (terlalu masuk atau kurang masuk)
o Yakinkan dengan melihat batas kedalaman dan posisi insersi yang dikerjakan
o Mintakan posisi dibenahi atau benahi posisi sesuai dengan insite insersinya dengan batas kedalaman serta bentukan gelombang di monitor (harus dengan pemberian kewenangan)
22. Pembenahan
o Tidak pernah mencoba merapikan jalur sehingga kadang cloth sebelum waktu aff
Rapihkan jalur CVP dan kateter PA sedemikian rupa sehingga memudahkan kita ketika memobilisasi pasien, memudahkan pengamatan line dan sambungan, dan saat akan mencabut/ memutuskan sambungan yang tidak perlu.
23. Pembenahan
o Tidak memperlakukan area insersi CVP dan kateter PA sebagai area steril
Lihatlah bagaimana mereka memperlakukan kateter PA
24. Pembenahan
o Tidak memperlakukan area insersi CVP dan kateter PA sebagai area steril
Perlakukan area insersi alat monitoring hemodinamik sebagai area steril. Ganti balutan jika perlu (kena muntah, darah merembes, terlihat kotor oleh apapun) Jangan memberikan kontak terlalu sering jika tidak ada keperluannya.
25. Semoga kita menjadi lebih arif memperlakukan alat alat monitoring invasif di ICU
26. Terima Kasih
27. Daftar Pustaka
o Swan HJ. The pulmonary artery catheter. Dis Mon 1991;37:473-543.
o Ermakov S, Hoyt JW. Pulmonary artery catheterization. Crit Care Clin 1992;8:773-806 (115 References).
o American Society of Anesthesiologists Task Force on Pulmonary Artery Catheterization. Practice guidelines for pulmonary artery catheterization. Anesthesiology 1993;78:380-394 (89 References).
o Darovic GO. Pulmonary artery pressure monitoring. In: Darovic GO, ed. Hemodynamic monitoring: invasive and noninvasive clinical application. 2nd ed. Philadelphia: WB Saunders, 1995;253-322 (84 References).
o Iberti TJ, Fischer EP, Leibowitz AB, et al. A multicenter study of physicians' knowledge of the pulmonary artery catheter. JAMA 1990;264:2928-2932.
o Halpern N, Feld H, Oropello JM, Stern E. The technique of inserting an RV port PA catheter and pacing probe. J Crit Illness 1991;6:1153-1159.
o Armaganidis A, Dhainaut JF, Billard JL, et al. Accuracy assessment for three fiberoptic pulmonary artery catheters for SvO 2 monitoring. Intensive Care Med 1994;20:484-488.
o Vincent JL, Thirion M, Brimioulle S, et al. Thermodilution measurement of right ventricular ejection fraction with a modified pulmonary artery catheter. Intensive Care Med 1986;12:33-38.
o Yelderman M, Ramsay MA, Quinn MD, et al. Continuous thermodilution cardiac output measurement in intensive care unit patients. J Cardiothorac Vasc Anesth 1992;6:270-274.

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN PEMASANGAN CVP

I. PENGERTIAN
Tekanan vena central (central venous pressure) adalah tekanan darah di AKa atau vena kava. Ini memberikan informasi tentang tiga parameter volume darah, keefektifan jantung sebagai pompa, dan tonus vaskular. Tekanan vena central dibedakan dari tekanan vena perifer, yang dapat merefleksikan hanya tekanan lokal.
II. LOKASI PEMANTAUAN
• Vena Jugularis interna kanan atau kiri (lebih umum pada kanan)
• Vena subklavia kanan atau kiri, tetapi duktus toraks rendah pada kanan
• Vena brakialis, yang mungkin tertekuk dan berkembang menjadi phlebitis
• Lumen proksimal kateter arteri pulmonalis, di atrium kanan atau tepat di atas vena kava superior
III. INDIKASI DAN PENGGUNAAN
• Pengukuran tekanan vena sentral (CVP).
• Pengambilan darah untuk pemeriksaan laboratorium.
• Pengukuran oksigenasi vena sentral.
• Nutrisi parenteral dan pemberian cairan hipertonik atau cairan yang mengiritasi yang perlu pengenceran segera dalam sistem sirkulasi.
• Pemberian obat vasoaktif per drip (tetesan) dan obat inotropik.
• Sebagai jalan masuk vena bila semua tempat IV lainnya telah lemah.
IV. KOMPLIKASI
Adapun komplikasi dari pemasangan kanulasi CVP antara lain :
• Nyeri dan inflamasi pada lokasi penusukan.
• Bekuan darah karena tertekuknya kateter.
• Perdarahan : ekimosis atau perdarahan besar bila jarum terlepas.
• Tromboplebitis (emboli thrombus,emboli udara, sepsis).
• Microshock.
• Disritmia jantung
V. PENGKAJIAN
Yang perlu dikaji pada pasien yang terpasang CVP adalah tanda-tanda komplikasi yang ditimbulkan oleh pemasangan alat.
• Keluhan nyeri, napas sesak, rasa tidak nyaman.
• Keluhan verbal adanya kelelahan atau kelemahan.
• Frekuensi napas, suara napas
• Tanda kemerahan / pus pada lokasi pemasangan.
• Adanya gumpalan darah / gelembung udara pada cateter
• Kesesuaian posisi jalur infus set
• Tanda-tanda vital, perfusi
• Tekanan CVP
• Intake dan out put
• ECG Monitor
VI. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Gangguan aktivitas berhubungan dengan pemasangan kateter vena central
Kriteria pengkajian focus :
• Kelemahan, kelelahan.
• Perubahan tanda vital, adanya disritmia.
• Dispnea.
• Pucat
• Berkeringat.
VII. TUJUAN ASUHAN KEPERAWATAN
Pasien akan mencapai peningkatan toleransi aktivitas yang dapat diukur, dibuktikan oleh menurunnya kelemahan dan kelelahan dan tanda vital DBN selama aktivitas.
VIII. INTERVENSI
• Periksa tanda vital sebelum dan segera setelah aktivitas.
Rasionalisasi : Hipotensi ortostatik dapat terjadi dengan aktivitas.
• Catat respons kardiopulmonal terhadap aktivitas, catat takikardi, disritmia, dispnea, berkeringat, pucat.
Rasionalisasi : penurunan/ketidakmampuan miokardium untuk meningkatkan volume sekuncup selama aktivitas, dapat menyebabkan peningkatan segera pada frekuensi jantung dan kebutuhan oksigen, juga peningkatan kelelahan dan kelemahan.
• Kaji presipitator/penyebab kelemahan contoh nyeri.
Rasionalisasi : Nyeri dan program penuh stres jugas memerlukan energi dan menyebabkan kelemahan.
• Anjurkan latihan ROM aktif atau bila pasien tidak dapat memenuhinya lakukan ROM pasif setiap 6 jam.
Rasionalisasi : ROM dapat meningkatkan kekuatan otot, memperbaiki sirkulasi dan mengurangi rasa tidak nyaman.
• Jelaskan bahwa gangguan aktivitas adalah kondisi sementara yang diharuskan hanya selama waktu pemantauan sementara.
Rasionalisasi : Penjelasan dapat mengurangi anxietas karena rasa takut terhadap pemasangan CVP.
• Berikan bantuan dalam aktivitas perawatan diri sesuai indikasi.
• Rasionalisasi : Pemenuhan kebutuhan perawatan diri pasien tanpa mempengaruhi pemasangan CVP.
DAFTER PUSTAKA
Anna Owen, 1997. Pemantauan Perawatan Kritis. EGC. Jakarta.
Carpenito, Lynda Juall, 2000. Diagnosa Keperawatan .EGC. Jakarta.
Doenges M.E. at all, 1993. Rencana Asuhan Keperwatan. Edisi 3. EGC. Jakarta
Hudak & Gallo, 1997. Keperawatan Kritis Edisi VI Volume I. EGC. Jakarta.

MAKALAH cara pemberian obat

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim
Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih tak pilih kasih, lagi Maha Penyayang. Segala puji adalah milik Allah Tuhan yang maha mengatur lagi maha bijaksana, yang maha penyayang lagi maha dermawan dan maha pengasih lagi maha pemurah. Karena hanya dengan rakhmat dan karunia-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini.
Sebagai manusia biasa, kami menyadari masih banyak kekurangan dalam penyusunan makalah ini. Demi kesempurnaan dan peningkatan kualitas makalah ini, kami mohon kritik dan saran dari berbagai pihak dalam rangka penyempurnaan makalah ini.
Untuk itu pada kesempatan ini, kami mengucapkan banyak terima kasih kepada teman-teman yang telah membantu kami dalam proses penyelesaian penyusunan makalah ini yang telah memberikan bimbingan dan pengarahan pada kami guna terselesainya makalah ini, dengan tidak mengurangi rasa hormat yang tidak dapat kami sebutkan satu persatu.
Akhirnya kami berharap semoga makalah ini dapat berguna dan membantu kami dalam melaksanakan kuliah nanti. Amiieen. . . . . .




langsa,2010

Penyusun







BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Salah satu tugas terpenting seorang perawat adalah member obat yang aman dan akurat kepada klien. Obat merupakan alat utama terapi untuk mengobati klien yang memiliki masalah. Obat bekerja menghasilkan efek terapeutik yang bermanfaat. Walaupun obat menguntungkan klien dalam banyak hal, beberapa obat dapat menimbulkan efek samping yang serius atau berpotensi menimbulkan efek yang berbahaya bila kita memberikan obat tersebut tidak sesuai dengan anjuran yang sebenarnya.
Seorang perawat juga memiliki tanggung jawab dalam memahami kerja obat dan efek samping yang ditimbulkan oleh obat yang telah diberikan, memberikan obat dengan tepat, memantau respon klien, dan membantu klien untuk menggunakannya dengan benar dan berdasarkan pengetahuan.
Oleh karena itu, pada makalah ini akan di bahas salah satu rute pemberian obat, yaitu rute pemberian obat secara PARENTERAL, memberikan obat pada pasien dengan menginjeksinya ke dalam tubuh.
B. Tujuan
Tujuan disusunnya makalah mengenai cara pemberian obat secara Parenteral ini adalah :
-Menjelaskan bagaimana harua melakukan persiapan pemberian obat parenteral.
-Menjelaskan macam-macam cara pemberian obat
- Menjelaskan indikasi dan kontra indikasi
- Menjelaskan hal-hal yang harus diperhatikan dan cara pemberiannya.

BAB II
PEMBAHASAN
PEMBERIAN OBAT SECARA PARENTERAL
Pemberian obat secara parenteral merupakan pemberian obat melalui injeksi atau infuse. Sediaan parenteral merupakan sediaan steril. Sediaan ini diberikan melalui beberapa rute pemberian, yaitu Intra Vena (IV), Intra Spinal (IS), Intra Muskular (IM), Subcutaneus (SC), dan Intra Cutaneus (IC). Obat yang diberikan secara parenteral akan di absorbs lebih banyak dan bereaksi lebih cepat dibandingkan dengan obat yang diberikan secara topical atau oral. Perlu juga diketahui bahwa pemberian obat parenteral dapat menyebabkan resiko infeksi.
Resiko infeksi dapat terjadi bila perawat tidak memperhatikan dan melakukan tekhnik aseptic dan antiseptic pada saat pemberian obat. Karena pada pemberian obat parenteral, obat diinjeksikan melalui kulit menembus system pertahanan kulit. Komplikasi yang seringv terjadi adalah bila pH osmolalitas dan kepekatan cairan obat yang diinjeksikan tidak sesuai dengan tempat penusukan sehingga dapat mengakibatkan kerusakan jaringan sekitar tempat injeksi.
Pada umumnya pemberian obat secara parenteral di bagi menjadi 4, yaitu :
A. Pemberian Obat Via Jaringan Intra Kutan
B. Pemberian Obat Via Jaringan Subkutan
C. Pemberian Obat Via Intra Vena : Intra Vena Langsung dan tak langsung
D. Pemberian Obat Via Intramuskular

A. Pemberian Obat Via Jaringan Intra Kutan
1. Pengertian Intra Kutan
Merupakan cara memberikan atau memasukkan obat ke dalam jaringan kulit. Intra kutan biasanya di gunakan untuk mengetahui sensivitas tubuh terhadap obat yang disuntikkan.
2. Tujuan
Pemberian obat intra kutan bertujuan untuk melakukan skintest atau tes terhadap reaksi alergi jenis obat yang akan digunakan. Pemberian obat melalui jaringan intra kutan ini dilakukan di bawah dermis atau epidermis, secara umum dilakukan pada daerah lengan tangan bagian ventral.

3. Hal-hal yang perlu diperhatikan adalah :
1. Tempat injeksi
2. Jenis spuit dan jarum yang digunakan
3. Infeksi yang mungkin terjadi selama infeksi
4. Kondisi atau penyakit klien
5. Pasien yang benar
6. Obat yang benar
7. Dosis yang benar
8. Cara atau rute pemberian obat yang benar
9. Waktu yang benar

4. Indikasi dan Kontra Indikasi
- Indikasi : bisa dilkakukan pada pasien yang tidak sadar, tidak mau bekerja sama karena tidak memungkinkan untuk diberikan obat secara oral, tidak alergi. Lokasinya yang ideal adalah lengan bawah dalam dan pungguang bagian atas.
- Kontra Indikasi : luka, berbulu, alergi, infeksi kulit
5. Alat dan Bahan
Daftar buku obat/catatan, jadwal pemberian obat.
Obat dalam tempatnya
Spuit 1 cc/spuit insulin
Cairan pelarut
Bak steril dilapisi kas steril (tempat spuit)
Bengkok
Perlak dan alasnya.

6. Prosedur Kerja
1. Cuci tangan
2. Jelaskan prosedur yang akan dilakukan pada pasien
3. Bebaskan daerha yang akan disuntik, bila menggunakan baju lengan panjang terbuka dan keatasan
4. Pasang perlak/pengalas di bawah bagian yang akan disuntik
5. Ambil obat untuk tes alergi kemudian larutkan/encerkan dengan aquades. Kemudian ambil 0,5 cc dan encerkan lagi sampai kurang lebih 1 cc dan siapkan pada bak injeksi atau steril.
6. Desinfeksi dengan kapas alcohol pada daerah yang akan dilakukan suntikan.
7. Tegangkan dengan tangan kiri daerah yang akan disuntik.
8. Lakukan penusukan dengan lubang jarum suntik menghadap ke atas dengan sudut 15-20 derajat di permukaan kulit.
9. Suntikkkan sampai terjadi gelembung.
10. Tarik spuit dan tidak boleh dilakukan masase.
11. Cuci tangan dan catat hasil pemberian obat/tes obat, waktu, tanggal dan jenis obat.




Daerah Penyuntikan :
o Dilengan bawah : bagian depan lengan bawah 1/3 dari lekukan siku atau 2/3 dari pergelangan tangan pada kulit yang sehat, jauh dari PD.
o Di lengan atas : 3 jari di bawah sendi bahu, di tengah daerah muskulus deltoideus.

B. Pemberian Obat Via Jaringan SubKutan

1. Pengertian
Merupakan cara memberikan obat melalui suntikan di bawah kulit yang dapat dilakukan pada daerah lengan bagian atas sebelah luar atau sepertiga bagian dairi bahu, paha sebelah luar, daerah dada dan sekitar umbilicus (abdomen).
. 2. Tujuan
Pemberian obat melalui jaringan sub kutan ini pada umumnya dilakukan dengan program pemberian insulin yang digunakan untuk mengontrol kadar gula darah. Pemberian insulin terdapat 2 tipe larutan yaitu jernih dan keruh karena adanya penambahan protein sehingga memperlambat absorbs obat atau juga termasuk tipe lambat.
3. Hal-hal yang perlu diperhatikan
- Tempat injeksi
- Jenis spuit dan jarum suntik yang akan digunakan
- Infeksi nyang mungkin terjadi selama injeksi
- Kondisi atau penyakit klien
- Apakah pasien yang akan di injeksi adalah pasien yang tepat
- Obat yang akan diberikan harus benar
- Dosisb yang akan diberikan harus benar
- Cara atau rute pemberian yang benar
- Waktu yang tepat dan benar

4. Indikasi dan kontra indikasi
- Indikasi : bias dilakukan pada pasien yang tidak sadar dan tidak mau bekerja sama, karena tidak memungkinkan diberikan obat secara oral, bebas dari infeksi, lesi kulit, jaringan parut, tonjolan tulang, otot atau saras besar di bawahnya, obat dosis kecil yang larut dalam air.
- Kontra indikasi : obat yang merangsang, obat dalam dosis besar dan tidak larut dalam air atau minyak.

5. Alat dan bahan
Daftar buku obat/catatan dan jadual pemberian obat
Obat dalam tempatnya
Spuit insulin
Kapas alcohol dalam tempatnya
Cairan pelarut
Bak injeksi
Bengkok perlak dan alasnya

6. Prosedur kerja
1. Cuci tangan
2. Jelaskan prosedur yang akan dilakukan
3. Bebaskan daerah yang akan disuntik atau bebaskan suntikan dari pakaian. Apabila menggunakan pakaian, maka buka pakaian dan di keataskan.
4. Ambil obat dalam tempatnya sesuai dosis yang akan diberikan. Setelah itu tempatkan pada bak injeksi.
5. Desinfeksi dengan kapas alcohol.
6. Regangkan dengan tangan kiri (daerah yang akan dilakukan suntikan subkutan).
7. Lakukan penusukan dengan lubang jarum menghadap ke atas dengan sudut 45 derajat dari permukaan kulit.
8. Lakukan aspirasi, bila tidak ada darah, suntikkan secara perlahan-lahan hingga habis.
9. Tarik spuit dan tahan dengan kapas alcohol dan spuit yang telah dipakai masukkan ke dalam bengkok.
10. Catat hasil pemberian, tanggal, waktu pemberian, dan jenis serta dosis obat.
11. Cuci tangan.



Daerah Penyuntikan :
o Otot Bokong (musculus gluteus maximus) kanan & kiri ; yang tepat adalah 1/3 bagian dari Spina Iliaca Anterior Superior ke tulang ekor (os coxygeus)
o Otot paha bagian luar (muskulus quadriceps femoris)
o Otot pangkal lengan (muskulus deltoideus)

C. Pemberian Obat Via Intra Vena :
a. Pemberian Obat Via Jaringan Intra Vena langsung
1. Pengertian
Cara memberikan obat pada vena secara langsung. Diantaranya vena mediana kubiti/vena cephalika (lengan), vena sephanous (tungkai), vena jugularis (leher), vena frontalis/temporalis (kepala).

2. Tujuan
Pemberian obat intra vena secara langsung bertujuan agar obat dapat bereaksi langsung dan masuk ke dalam pembuluh darah.

3. Hal-hal yang diperhatikan
Setiap injeksi intra vena dilakukan amat perlahan antara 50 sampai 70 detik lamanya.
Tempat injeksi harus tepat kena pada daerha vena.
Jenis spuit dan jarum yang digunakan.
Infeksi yang mungkin terjadi selama injeksi.
Kondisi atau penyakit klien.
Obat yang baik dan benar.
Pasien yang akan di injeksi adalah pasien yang tepat dan benar.
Dosis yang diberikan harus tepat.
Cara atau rute pemberian obat melalui injeksi harus benar.
4. Indikasi dan kontra indikasi
- indikasi : bias dilakukan pada pasien yang tidak sadar dan tidak mau bekerja sama karena tidak memungkinkan untuk diberikan obat secara oral dan steril.
- kontra indikasi : tidak steril, obat yang tidak dapat larut dalam air, atau menimbulkan endapan dengan protein atau butiran darah.

5. Alat dan bahan
daftar buku obat/catatan dan jadual pemberian obat.
Obat dalam tempatnya.
Spuit sesuai dengan jenis ukuran
Kapas alcohol dalam tempatnya.
Cairan pelarut (aquades).
Bak injeksi.
Bengkok.
Perlak dan alasnya.
Karen pembendung.

6. Prosedur kerja
1. cuci tangan.
2. Jelaskan prosedur yang akan dilakukan.
3. Bebaskan daerah yang akan disuntik dengan cara membebaskan pakaian pada daerah penyuntikan, apabila tertutup, buka dan ke ataskan.
4. Ambil obat pada tempatnya sesuai dosi yang telah ditentukan. Apabila obat dalam bentuk sediaan bubuk, maka larutkan dengan aquades steril.
5. Pasang perlak atau pengalas di bawah vena yang akan dilakukan injeksi.
6. Tempatkan obat yang telah di ambil ke dalam bak injeksi.
7. Desinfeksi dengan kapas alcohol.
8. Lakukan pengikatan dengan karet pembendung pada bagian atas daerah yang akan dilakukakn pemberian obat atau minta bantuan untuk membendung daerah yang akan dilakukan penyuntikan dan lakukan penekanan.
9. Ambil spuit yang berisi obat.
10. Lakukan penusukan dengan lubang menghadap ke atas dengan memasukkan ke pembuluh darah.
11. Lakukan aspirasi, bila sudah ada darah lepaskan karet pembendung dan langsung semprotkan hingga habis.
12. Setelah selesai ambil spuit dengan menarik secara perlahan-lahan dan lakukan masase pada daerah penusukan dengan kapas alcohol, spuit yang telah digunakan di masukkan ke dalam bengkok.
13. Catat hasil pemberian, tanggal, waktu, dan dosis pemberian obat.
14. Cuci tangan.

b. Pemberian Obat Via Jaringan Intra Vena Secara tidak Langsun.
1. Pengertian
Merupakan cara memberikan obat dengan menambahkan atau memasukkan obat ke dalam wadah cairan intra vena.

2. Tujuan
Pemberian obat intra vena secara tidak langsung bertujuan untuk meminimalkan efek samping dan mempertahankan kadar terapeutik dalam darah.

3. Hal-hal yang perlu diperhatikan
- injeksi intra vena secara tidak langsung hanya dengan memasukkan cairan obat ke dalam botol infuse yang telah di pasang sebelumnya dengan hati-hati.
- Jenis spuit dan jarum yang digunakan.
-Infeksi yang mungkin terjadi selama injeksi.
- Obat yang baik dan benar.
- Pasien yang akan di berikan injeksi tidak langsung adalah pasien yang tepat dan benar.
- Dosis yang diberikan harus tepat.
- Cara atau rute pemberian obat melalui injeksi tidak langsung harus tepat dan benar.

4. Indikasi dan kontra indikasi
- indikasi : bias dilakukan pada pasien yang tidak sadar dan tidak mau bekerja sama karena tidak memungkinkan untuk diberikan obat secara oral dan steril.
- kontra indikasi : tidak steril, obat yang tidak dapat larut dalam air, atau menimbulkan endapan dengan protein atau butiran darah.

5. Alat dan bahan
- Spuit dan jarum sesuai ukuran
- Obat dalam tempatnya.
- Wadah cairan (kantung/botol).
- Kapas alcohol dalam tempatnya..

6. Prosedur kerja
1. cuci tangan.
2. Jelaskan prosedur yang akan dilakukan.
3. Periksa identitas pasien dan ambil obat dan masukkan ke dalam spuit.
4. Cari tempat penyuntikan obat pada daerah kantung. Alangkah baiknya penyuntikan pada kantung infuse ini dilakukan pada bagian atas kantung/botol infuse.
5. Lakukan desinfeksi dengan kapas alcohol pada kantung/botol dan kunci aliran infuse.
6. Lakukan penyuntikan dengan memasukkan jarum spuit hingga menembus bagian tengah dan masukkan obat secara perlahan-lahan ke dalam kantong/botol infuse/cairan.
7. Setelah selesai, tarik spuit dan campur larutan dengan membalikkan kantung cairan dengan perlahan-lahan dari satu ujung ke ujung yang lain.
8. Ganti wadah atau botol infuse dengan cairan yang sudah di injeksikan obat di dalamnya. Kemudian gantungkan pada tiang infuse.
9. Periksa kecepatan infuse.
10. Cuci tangan.
11. Catat reaksi pemberian, tanggal, waktu dan dosis pemberian.

Daerah Penyuntikan :
o Pada Lengan (v. mediana cubiti / v. cephalika)
o Pada Tungkai (v. Spahenous)
o Pada Leher (v. Jugularis)
o Pada Kepala (v. Frontalis atau v. Temporalis) khusus pada anak – anak


D. Pemberian Obat Via Intra Muskular
1. Pengertian
Merupakan cara memasukkan obat ke dalam jaringan otot. Lokasi penyuntikan dapat dilakukan pada daerah paha (vastus lateralis) dengan posisi ventrogluteal (posisi berbaring), dorsogluteal (posisi tengkurap), atau lengan atas (deltoid).


2. Tujuan
Agar obat di absorbs tubuh dengan cepat.

3. Hal-hal yang perlu diperhatikan
- Tempat injeksi.
- Jenis spuit dan jarum yang digunakan.
- Infeksi yang mungkin terjadi selama injeksi.
- Kondisi atau penyakit klien.
- Obat yang tepat dan benar.
- Dosis yang diberikan harus tepat.
- Pasien yang tepat.
- Cara atau rute pemberian obat harus tepat dan benar.

4. Indikasi dan kontra indikasi
- indikasi : bias dilakukan pada pasien yang tidak sadar dan tidak mau bekerja sama karena tidak memungkinkan untuk diberikan obat secara oral, bebas dari infeksi, lesi kulit, jaringan parut, tonjolan tulang, otot atau saras besar di bawahnya.
- kontra indikasi : Infeksi, lesi kulit, jaringan parut, tonjolan tulang, otot atau saraf besar di bawahnya.

5. Alat dan bahan
- Daftar buku obat/catatan dan jadual pemberian obat.
- Obat dalam tempatnya.
- Spuit da jarum suntik sesuai dengan ukuran. Untuk dewasa panjangnya 2,5-3 cm, untuk anak-anak panjangnya 1,25-2,5 cm.
-Kapas alcohol dalam tempatnya.
- Cairan pelarut.
- Bak injeksi.
- Bengkok.


6. Prosedur kerja
1. cuci tangan.
2. Jelaskan prosedur yang akan dilakukan.
3. Ambil obat dan masukkan ke dalam spuit sesuai dengan dosisnya. Setelah itu letakkan dalam bak injeksi.
4. Periksa tempat yang akan di lakukan penyuntikan (perhatikan lokasi penyuntikan).
5. Desinfeksi dengan kapas alcohol pada tempat yang akan dilakukan injeksi.
6. Lakukan penyuntikan :
Pada daerah paha (vastus lateralis) dengan cara, anjurkan pasien untuk berbaring telentang dengan lutut sedikit fleksi.
Pada ventrogluteal dengan cara, anjurkan pasien untuk miring, tengkurap atau telentang dengan lutut dan pinggul pada sisi yang akan dilakukan penyuntikan dalam keadaan fleksi.
Pada daerah dorsogluteal dengan cara, anjurkan pasien untuk tengkurap dengan lutut di putar kea rah dalam atau miring dengan lutut bagian atas dan diletakkan di depan tungkai bawah.
Pada daerah deltoid (lengan atas) dilakukan dengan cara, anjurkan pasien untuk duduk atau berbaring mendatar lengan atas fleksi.
7. Lakukan penusukan dengan posisi jarum tegak lurus.
8. Setelah jarum masuk, lakukan aspirasi spuit, bila tidak ada darah yang tertarik dalam spuit, maka tekanlah spuit hingga obat masuk secara perlahan-lahan hingga habis.
9. Setelah selesai, tarik spuit dan tekan sambuil di masase daerah penyuntikan dengan kapas alcohol, kemudian spuit yang telah di gunakan letakkan dalam bengkok.
10. Catat reaksi pemberian, jumlah dosis, dan waktu pemberian.
11. Cuci tangan

Daerah Penyuntikan :
o Bagian lateral bokong (vastus lateralis)
o Butoks (bagian lateral gluteus maksimus)
o Lengan atas (deltpid)



BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Obat dapat diberikan dengan berbagai cara disesuaikan dengan kondisi pasien, diantaranya : sub kutan, intra kutan, intra muscular, dan intra vena. Dalam pemberian obat ada hal-hal yang perlu diperhatikan, yaitu indikasi dan kontra indikasi pemberian obat. Sebab ada jenis-jensi obat tertentu yang tidak bereaksi jika diberikan dengan cara yang salah.

B. Saran
Setiap obat merupakan racun yang yang dapat memberikan efek samping yang tidak baik jika kita salah menggunakannya. Hal ini tentunya dapat menimbulkan kerugian bahkan akibatnya bias fatal. Oleh karena itu, kita sebagai perawat kiranya harus melaksanakan tugas kita dengan sebaik-baiknya tanpa menimbulkan masalah-masalah yang dapat merugikan diri kita sendiri maupun orang lain.

















DAFTAR PUSTAKA

L, Kee Joyce & R, Hayes evelyn ; farmakologi Pendekatan proses Keperawatan, 1996 ; EGC; Jakarta.

Priharjo, Robert; Tekhnik Dasar Pemberian Obat Bagi Perawat, 1995; EGC; Jakarta.

Aziz, Azimul; Kebutuhan dasar manusia II.

Bouwhuizen, M; Ilmu Keperawatan Bagian 1; 1986; EGC; Jakarta.

URTIKARIA

Urtikaria atau lebih di kenal dengan biduran adalah suatu gejala penyakit berupa gatal-gatal pada kulit di sertai bercak-bercak menonjol ( edema ) yang biasanya disebabkan oleh alergi ( www.urtikaria.com )
Urtikaria merupakan istilah kilnis untuk suatu kelompok kelainan yang di tandai dengan adanya pembentukan bilur-bilur pembengkakan kulit yang dapat hilang tanpa meninggalkan bekas yang terlihat. ( robin graham, brown. 2205 )
Urtikaria yaitu keadaan yang di tandai dengan timbulnya urtika atau edema setempat yang menyebabkan penimbulan di atas permukaan kulit yang di sertai rasa sangat gatal ( ramali, ahmad. 2000 )

B. ETIOLOGI
Berdasarkan kasus-kasus yang ada, paling banak urtikaria di sebabkan oleh alergi, baik alergi makanan, obat-obatan, dll.
• jenis makanan yang dapat menyebabakan alergi misalnya: telur, ikan, kerang, coklat, jenis kacang tertentu, tomat, tepung, terigu, daging sapi, udang, dll.
• jenis obat-obatan yang menimbulkan alergi biasanya penisilin, aspirin, bronide, serum, vaksin, dan opium.
• bahan-bahan protein yang masuk melalui hidung seperti serbuk kembang, jamur, debu dari bulu burung, debu rumah dan ketombe binatang.
• Pengaruh cuaca yang terlalu dingin atau panas,sinar matahari,tekanan atau air.
• Faktor psikologis pasien misalnya : Krisis emosi
C. MANIFESTASI KLINIS
1. Timbulnya bintik-bintik merah atau lebih pucat pada kulit. Bintik-bintik merah ini dapat mengalami edema sehingga tampak seperti benjolan.
2. Sering disertai rasa gatal yang hebat dan suhu yang >panas pada sekitar benjolan tersebut.
3. terjadi angioderma, dimana edema luas ke dalam jaringan subkutan, terutama di sekitar mata, bibir dan di dalam orofaring.
4. adanya pembengkakan dapat menghawatirkan, kadang-kadang bisa menutupi mata secara keseluruhan dan mengganggu jalan udara untuk pernafasan.

D. BENTUK-BENTUK KLINIS URTIKARIA
1. URTIKARIA AKUT
Urtikaria akut hanya berlansung selama beberapa jam atau beberapa hari. yang sering terjadi penyebabnya adalah:
1. adanya kontak dengan tumbuhan ( misalnya jelatang ), bulu binatang/makanan.
2. akibat pencernaan makanan, terutama kacang-kacangan, kerangan-kerangan dan strouberi.
3. akibat memakan obat misalnya aspirin dan penisilin.

2. URTIKARIA KRONIS
Biasanya berlangsung beberapa minggu, beberapa bulan, atau beberapa tahun. pada bentuk urtikaria ini jarang didapatkan adanya faktor penyebab tunggal.

3. URTIKARIA PIGMENTOSA
Yaitu suatu erupsi pada kulit berupa hiperpigmentasi yang berlangsung sementara, kadang-kadang disertai pembengkakan dan rasa gatal.

4. URTIKARIA SISTEMIK ( PRURIGO SISTEMIK )
Adalah suatu bentuk prurigo yang sering kali terjadi pada bayi kelainan khas berupa urtikaria popular yaitu urtikaria yang berbentuk popular-popular yang berwarna kemerahan.
Berdasarkan penyebabnya, urtikaria dapat dibedakan menjadi:
1. heat rash yaitu urtikaria yang disebabkan panas
2. urtikaria idiopatik yaitu urtikaria yang belum jelas penyebabnya atau sulit dideteksi
3. cold urtikaria adalah urtikaria yang disebabkan oleh rangsangan dingin.
4. pressure urtikaria yaitu urtikaria yang disebabkan rangsangan tekanan
5. contak urtikaria yaitu urtikaria yang disebabkan oleh alergi
6. aquagenic urtikaria yaitu urtikaria yang disebabkan oleh rangsangan air
7. solar urtikaria yaitu urtikaria yang disebabkan sengatan sinar matahari
8. vaskulitik urtikaria
9. cholirgening urtikaria yaitu urtikaria yang disebabkan panas, latihan berat dan stress
F. PENGOBATAN
Sebenarnya pada beberapa kasus urtikaria yang sifatnya akut tidak perlu adanya pengobatan secara intensif karena urtikaria pada tahap ini gejalanya tidak berlansung lama dan bisa sembuh sendiri.
Tetapi pada urtikaria kronik bisa di lakukan pengobatan dengan menggunakan anthihistamin. Obat ini merupakan pilihan utama adalah penanganan urtikaria.
Menurut www.tempo.co.id/medika/arsip/04200/kas-1htm, ada beberapa tindakan yang harus di lakukan dalam penangnan urtikaria adalah :
• mencari dan menghindari bahan atau keadaan yang menyebabkan urtikaria
• untuk menghilangkan rasa gatal dapat di oleskan sedikit tepung soda bakar yang sudah di campur dengan air atau 1/10 larutan menthol dalam alkohol.

G. DIAGNOSA KEPERAWATAN URTIKARIA
1. gangguan citra tubuh berhubungan dengan lesi pada kulit
intervensi:
1. bersikap realistis dan positif selama pengobatan. Pada penyulahan kesehatan dan menyusun tujuan dalam keterbatasan
2. dorong interaksi keluarga dan dengan tim rehabilitas
3. berikan kesempatan pada pasien untuk mengekspresikan perasaan mereka

2. gangguan pola tidur berhubungan dengan pruritas
intervensi:
1. menghindari minuman yang mengandung kafein, pada malam hari
2. menggunakan rutinitas waktu tidur atau ritual untuk memudahkan transisi dari kerejagaan ke tidur
3. latihan atau olahraga dengan teratur
4. pertahankan ventilasi dan kelembaban kamar tidur dalam keadaan yang baik

URTIKARIA

Urtikaria atau lebih di kenal dengan biduran adalah suatu gejala penyakit berupa gatal-gatal pada kulit di sertai bercak-bercak menonjol ( edema ) yang biasanya disebabkan oleh alergi ( www.urtikaria.com )
Urtikaria merupakan istilah kilnis untuk suatu kelompok kelainan yang di tandai dengan adanya pembentukan bilur-bilur pembengkakan kulit yang dapat hilang tanpa meninggalkan bekas yang terlihat. ( robin graham, brown. 2205 )
Urtikaria yaitu keadaan yang di tandai dengan timbulnya urtika atau edema setempat yang menyebabkan penimbulan di atas permukaan kulit yang di sertai rasa sangat gatal ( ramali, ahmad. 2000 )

B. ETIOLOGI
Berdasarkan kasus-kasus yang ada, paling banak urtikaria di sebabkan oleh alergi, baik alergi makanan, obat-obatan, dll.
• jenis makanan yang dapat menyebabakan alergi misalnya: telur, ikan, kerang, coklat, jenis kacang tertentu, tomat, tepung, terigu, daging sapi, udang, dll.
• jenis obat-obatan yang menimbulkan alergi biasanya penisilin, aspirin, bronide, serum, vaksin, dan opium.
• bahan-bahan protein yang masuk melalui hidung seperti serbuk kembang, jamur, debu dari bulu burung, debu rumah dan ketombe binatang.
• Pengaruh cuaca yang terlalu dingin atau panas,sinar matahari,tekanan atau air.
• Faktor psikologis pasien misalnya : Krisis emosi
C. MANIFESTASI KLINIS
1. Timbulnya bintik-bintik merah atau lebih pucat pada kulit. Bintik-bintik merah ini dapat mengalami edema sehingga tampak seperti benjolan.
2. Sering disertai rasa gatal yang hebat dan suhu yang >panas pada sekitar benjolan tersebut.
3. terjadi angioderma, dimana edema luas ke dalam jaringan subkutan, terutama di sekitar mata, bibir dan di dalam orofaring.
4. adanya pembengkakan dapat menghawatirkan, kadang-kadang bisa menutupi mata secara keseluruhan dan mengganggu jalan udara untuk pernafasan.

D. BENTUK-BENTUK KLINIS URTIKARIA
1. URTIKARIA AKUT
Urtikaria akut hanya berlansung selama beberapa jam atau beberapa hari. yang sering terjadi penyebabnya adalah:
1. adanya kontak dengan tumbuhan ( misalnya jelatang ), bulu binatang/makanan.
2. akibat pencernaan makanan, terutama kacang-kacangan, kerangan-kerangan dan strouberi.
3. akibat memakan obat misalnya aspirin dan penisilin.

2. URTIKARIA KRONIS
Biasanya berlangsung beberapa minggu, beberapa bulan, atau beberapa tahun. pada bentuk urtikaria ini jarang didapatkan adanya faktor penyebab tunggal.

3. URTIKARIA PIGMENTOSA
Yaitu suatu erupsi pada kulit berupa hiperpigmentasi yang berlangsung sementara, kadang-kadang disertai pembengkakan dan rasa gatal.

4. URTIKARIA SISTEMIK ( PRURIGO SISTEMIK )
Adalah suatu bentuk prurigo yang sering kali terjadi pada bayi kelainan khas berupa urtikaria popular yaitu urtikaria yang berbentuk popular-popular yang berwarna kemerahan.
Berdasarkan penyebabnya, urtikaria dapat dibedakan menjadi:
1. heat rash yaitu urtikaria yang disebabkan panas
2. urtikaria idiopatik yaitu urtikaria yang belum jelas penyebabnya atau sulit dideteksi
3. cold urtikaria adalah urtikaria yang disebabkan oleh rangsangan dingin.
4. pressure urtikaria yaitu urtikaria yang disebabkan rangsangan tekanan
5. contak urtikaria yaitu urtikaria yang disebabkan oleh alergi
6. aquagenic urtikaria yaitu urtikaria yang disebabkan oleh rangsangan air
7. solar urtikaria yaitu urtikaria yang disebabkan sengatan sinar matahari
8. vaskulitik urtikaria
9. cholirgening urtikaria yaitu urtikaria yang disebabkan panas, latihan berat dan stress
F. PENGOBATAN
Sebenarnya pada beberapa kasus urtikaria yang sifatnya akut tidak perlu adanya pengobatan secara intensif karena urtikaria pada tahap ini gejalanya tidak berlansung lama dan bisa sembuh sendiri.
Tetapi pada urtikaria kronik bisa di lakukan pengobatan dengan menggunakan anthihistamin. Obat ini merupakan pilihan utama adalah penanganan urtikaria.
Menurut www.tempo.co.id/medika/arsip/04200/kas-1htm, ada beberapa tindakan yang harus di lakukan dalam penangnan urtikaria adalah :
• mencari dan menghindari bahan atau keadaan yang menyebabkan urtikaria
• untuk menghilangkan rasa gatal dapat di oleskan sedikit tepung soda bakar yang sudah di campur dengan air atau 1/10 larutan menthol dalam alkohol.

G. DIAGNOSA KEPERAWATAN URTIKARIA
1. gangguan citra tubuh berhubungan dengan lesi pada kulit
intervensi:
1. bersikap realistis dan positif selama pengobatan. Pada penyulahan kesehatan dan menyusun tujuan dalam keterbatasan
2. dorong interaksi keluarga dan dengan tim rehabilitas
3. berikan kesempatan pada pasien untuk mengekspresikan perasaan mereka

2. gangguan pola tidur berhubungan dengan pruritas
intervensi:
1. menghindari minuman yang mengandung kafein, pada malam hari
2. menggunakan rutinitas waktu tidur atau ritual untuk memudahkan transisi dari kerejagaan ke tidur
3. latihan atau olahraga dengan teratur
4. pertahankan ventilasi dan kelembaban kamar tidur dalam keadaan yang baik

Poliomielitis

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Langsung ke: navigasi, cari
?
Poliovirus


Klasifikasi virus

Golongan: Golongan IV ((+)ssRNA)

Familia:
Picornaviridae

Genus:
Enterovirus

Spesies:
Poliovirus


Poliomielitis atau polio, adalah penyakit paralisis atau lumpuh yang disebabkan oleh virus. Agen pembawa penyakit ini, sebuah virus yang dinamakan poliovirus (PV), masuk ke tubuh melalui mulut, mengifeksi saluran usus. Virus ini dapat memasuki aliran darah dan mengalir ke sistem saraf pusat menyebabkan melemahnya otot dan kadang kelumpuhan (paralisis).

Etimologi
Kata polio berasal dari [bahasa Yunani] atau bentuknya yang lebih mutakhir, dari "abu-abu" dan "bercak".
Sejarah
Polio sudah dikenal sejak zaman pra-sejarah. Lukisan dinding di kuil-kuil Mesir kuno menggambarkan orang-orang sehat dengan kaki layu yang berjalan dengan tongkat. Kaisar Romawi Claudius terserang polio ketika masih kanak-kanak dan menjadi pincang seumur hidupnya.
Virus polio menyerang tanpa peringatan, merusak sistem saraf menimbulkan kelumpuhan permanen, biasanya pada kaki. Sejumlah besar penderita meninggal karena tidak dapat menggerakkan otot pernapasan. Ketika polio menyerang Amerika selama dasawarsa seusai Perang Dunia II, penyakit itu disebut ‘momok semua orang tua’, karena menjangkiti anak-anak terutama yang berumur di bawah lima tahun. Di sana para orang tua tidak membiarkan anak mereka keluar rumah, gedung-gedung bioskop dikunci, kolam renang, sekolah dan bahkan gereja tutup.
Apakah polio itu?
Polia adalah penyakit menular yang dikategorikan sebagai penyakit peradaban. Polio menular melalui kontak antarmanusia. Virus masuk ke dalam tubuh melalui mulut ketika seseorang memakan makanan atau minuman yang terkontaminasi feses. Poliovirus adalah virus RNA kecil yang terdiri atas tiga strain berbeda dan amat menular. Virus akan menyerang sistem saraf dan kelumpuhan dapat terjadi dalam hitungan jam. Polio menyerang tanpa mengenal usia, lima puluh persen kasus terjadi pada anak berusia antara 3 hingga 5 tahun. Masa inkubasi polio dari gejala pertama berkisar dari 3 hingga 35 hari.
Polio dapat menyebar luas diam-diam karena sebagian besar penderita yang terinfeksi poliovirus tidak memiliki gejala sehingga tidak tahu kalau mereka sendiri sedang terjangkit. Setelah seseorang terkena infeksi, virus akan keluar melalui feses selama beberapa minggu dan saat itulah dapat terjadi penularan virus.
Jenis Polio
Polio non-paralisis
Polio non-paralisis menyebabkan demam, muntah, sakit perut, lesu, dan sensitif. Terjadi kram otot pada leher dan punggung, otot terasa lembek jika disentuh.
Polio paralisis spinal
Strain poliovirus ini menyerang saraf tulang belakang, menghancurkan sel tanduk anterior yang mengontrol pergerakan pada batang tubuh dan otot tungkai. Meskipun strain ini dapat menyebabkan kelumpuhan permanen, kurang dari satu penderita dari 200 penderita akan mengalami kelumpuhan. Kelumpuhan paling sering ditemukan terjadi pada kaki. Setelah virus polio menyerang usus, virus ini akan diserap oleh pembulu darah kapiler pada dinding usus dan diangkut seluruh tubuh. Virus Polio menyerang saraf tulang belakang dan syaraf motorik -- yang mengontrol gerakan fisik. Pada periode inilah muncul gejala seperti flu. Namun, pada penderita yang tidak memiliki kekebalan atau belum divaksinasi, virus ini biasanya akan menyerang seluruh bagian batang saraf tulang belakang dan batang otak. Infeksi ini akan mempengaruhi sistem saraf pusat -- menyebar sepanjang serabut saraf. Seiring dengan berkembang biaknya virus dalam sistem saraf pusat, virus akan menghancurkan syaraf motorik. Syaraf motorik tidak memiliki kemampuan regenerasi dan otot yang berhubungan dengannya tidak akan bereaksi terhadap perintah dari sistem saraf pusat. Kelumpuhan pada kaki menyebabkan tungkai menjadi lemas -- kondisi ini disebut acute flaccid paralysis (AFP). Infeksi parah pada sistem saraf pusat dapat menyebabkan kelumpuhan pada batang tubuh dan otot pada toraks (dada) dan abdomen (perut), disebut quadriplegia.
Polio bulbar
Polio jenis ini disebabkan oleh tidak adanya kekebalan alami sehingga batang otak ikut terserang. Batang otak mengandung syaraf motorik yang mengatur pernapasan dan saraf kranial, yang mengirim sinyal ke berbagai syaraf yang mengontrol pergerakan bola mata; saraf trigeminal dan saraf muka yang berhubungan dengan pipi, kelenjar air mata, gusi, dan otot muka; saraf auditori yang mengatur pendengaran; saraf glossofaringeal yang membantu proses menelan dan berbagai fungsi di kerongkongan; pergerakan lidah dan rasa; dan saraf yang mengirim sinyal ke jantung, usus, paru-paru, dan saraf tambahan yang mengatur pergerakan leher.
Tanpa alat bantu pernapasan, polio bulbar dapat menyebabkan kematian. Lima hingga sepuluh persen penderita yang menderita polio bulbar akan meninggal ketika otot pernapasan mereka tidak dapat bekerja. Kematian biasanya terjadi setelah terjadi kerusakan pada saraf kranial yang bertugas mengirim 'perintah bernapas' ke paru-paru. Penderita juga dapat meninggal karena kerusakan pada fungsi penelanan; korban dapat 'tenggelam' dalam sekresinya sendiri kecuali dilakukan penyedotan atau diberi perlakuan trakeostomi untuk menyedot cairan yang disekresikan sebelum masuk ke dalam paru-paru. Namun trakesotomi juga sulit dilakukan apabila penderita telah menggunakan 'paru-paru besi' (iron lung). Alat ini membantu paru-paru yang lemah dengan cara menambah dan mengurangi tekanan udara di dalam tabung. Kalau tekanan udara ditambah, paru-paru akan mengempis, kalau tekanan udara dikurangi, paru-paru akan mengembang. Dengan demikian udara terpompa keluar masuk paru-paru. Infeksi yang jauh lebih parah pada otak dapat menyebabkan koma dan kematian.
Tingkat kematian karena polio bulbar berkisar 25-75% tergantung usia penderita. Hingga saat ini, mereka yang bertahan hidup dari polio jenis ini harus hidup dengan paru-paru besi atau alat bantu pernapasan. Polio bulbar dan spinal sering menyerang bersamaan dan merupakan sub kelas dari polio paralisis. Polio paralisis tidak bersifat permanen. Penderita yang sembuh dapat memiliki fungsi tubuh yang mendekati normal.
Anak-anak dan polio
Anak-anak kecil yang terkena polio seringkali hanya mengalami gejala ringan dan menjadi kebal terhadap polio. Karenanya, penduduk di daerah yang memiliki sanitasi baik justru menjadi lebih rentan terhadap polio karena tidak menderita polio ketika masih kecil. Vaksinasi pada saat balita akan sangat membantu pencegahan polio di masa depan karena polio menjadi lebih berbahaya jika diderita oleh orang dewasa. Orang yang telah menderita polio bukan tidak mungkin akan mengalami gejala tambahan di masa depan seperti layu otot; gejala ini disebut sindrom post-polio.
Vaksin efektif pertama
Vaksin efektif pertama dikembangkan oleh Jonas Salk. Salk menolak untuk mematenkan vaksin ini karena menurutnya vaksin ini milik semua orang seperti halnya sinar matahari. Namun vaksin yang digunakan untuk inokulasi masal adalah vaksin yang dikembangkan oleh Albert Sabin. Inokulasi pencegahan polio anak untuk pertama kalinya diselenggarakan di Pittsburgh, Pennsylvania pada 23 Februari 1954. Polio hilang di Amerika pada tahun 1979.
Usaha pemberantasan polio
Pada tahun 1938, Presiden Roosevelt mendirikan Yayasan Nasional Bagi Kelumpuhan Anak-Anak, yang bertujuan menemukan pencegah polio, dan merawat mereka yang sudah terjangkit. Yayasan itu membentuk March of Dimes. Ibu-ibu melakukan kunjungan dari rumah ke rumah, anak-anak membantu melakukan sesuatu untuk orang lain, bioskop memasang iklan, semuanya bertujuan minta bantuan satu dime, atau sepuluh sen. Dana yang masuk waktu itu digunakan untuk membiayai penelitian Dokter Jonas Salk yang menghasilkan vaksin efektif pertama. Tahun 1952, di Amerika terdapat 58 ribu kasus polio. Tahun 1955 vaksin Salk mulai digunakan. Tahun 1963, setelah puluhan juta anak divaksin, di Amerika hanya ada 396 kasus polio.
Pada tahun 1955, Presiden Dwight Eisenhower mengumumkan bahwa Amerika akan mengajarkan kepada negara-negara lain cara membuat vaksin polio. Informasi ini diberikan secara gratis, kepada 75 negara, termasuk Uni Soviet.
Tahun 1988, Organisasi Kesehatan Dunia atau WHO mensahkan resolusi untuk menghapus polio sebelum tahun 2000. Pada saat itu masih terdapat sekitar 350 ribu kasus polio di seluruh dunia. Meskipun pada tahun 2000, polio belum terbasmi, tetapi jumlah kasusnya telah berkurang hingga di bawah 500. Polio tidak ada lagi di Asia Timur, Amerika Latin, Timur Tengah atau Eropa, tetapi masih terdapat di Nigeria, dan sejumlah kecil di India dan Pakistan. India telah melakukan usaha pemberantasan polio yang cukup sukses. Sedangkan di Nigeria, penyakit ini masih terus berjangkit karena pemerintah yang berkuasa mencurigai vaksin polio yang diberikan dapat mengurangi fertilitas dan menyebarkan HIV. Tahun 2004, pemerintah Nigeria meminta WHO untuk melakukan vaksinasi lagi setelah penyakit polio kembali menyebar ke seluruh Nigeria dan 10 negara tetangganya. Konflik internal dan perang saudara di Sudan dan Pantai Gading juga mempersulit pemberian vaksin polio.
Meskipun banyak usaha telah dilakukan, pada tahun 2004 angka infeksi polio meningkat menjadi 1.185 di 17 negara dari 784 di 15 negara pada tahun 2003. Sebagian penderita berada di Asia dan 1.037 ada di Afrika. Nigeria memiliki 763 penderita, India 129, dan Sudan 112.
Pada 5 Mei 2005, dilaporkan terjadi ledakan infeksi polio di Sukabumi akibat strain virus yang menyebabkan wabah di Nigeria. Virus ini diperkirakan terbawa dari Nigeria ke Arab dan sampai ke Indonesia melalui tenaga kerja Indonesia yang bekerja di Arab atau orang yang bepergian ke Arab untuk haji atau hal lainnya.

ASKEP PADA PASIEN DENGAN GANGGREN KAKI DIABETIK

A. PENGERTIAN :
Ganggren adalah proses atau keadaan yang ditandai dengan adanya jaringan yang mati atau nekrosis. namun secara mikrobiologis adalah proses nekrosis yang disebabkan oleh infeksi.
(Askandar, 2001)
Ganggren kaki diabetic adalah luka pada kaki yang merah kehitam-hitaman dan berbau akibat sumbatan yang terjadi di pembuluh darah sedang ataupun besar di tungkai.
(Askandar, 2001)
• Klasifikasi Kaki Diabetik
Menurut Wagner kaki diabetik dibagi menjadi:
1. Derajat 0 : tidak ada lesi terbuka, kulit masih utuh disertai dengan pembentukan kalus ”claw”.
2. Derajat I : ulkus superfisial terbatas pada kulit.
3. Derajat II : ulkus dalam dan menembus tendon dan tulang.
4. Derajat III : abses dalam, dengan atau tanpa osteomielitis.
5. Derajat IV : gangren jari kaki atau bagian distal kaki dengan atau tanpa selullitis.
6. Derajat V : gangren seluruh kaki atau sebagian tungkai bawah.
B. ETIOLOGI :
Ada 2 faktor yang mempengaruhi terjadinya ganggren kaki diabetic, yaitu :
• Faktor endogen : genetic, metabolic, angiopati diabetic, neuropati diabetic.
• Faktor eksogen : trauma, infeksi, dan obat.






C. PATOFISIOLOGI :
Patofisiologi dan Patogenesis Kaki Diabetik seringkali menyebabkan penyakit vaskular perifer yang menghambat sirkulasi darah. Dalam kondisi ini, terjadi penyempitan di sekitar arteri yang sering menyebabkan penurunan sirkulasi yang signifikan di bagian bawah tungkai dan kaki. Sirkulasi yang buruk ikut berperan terhadap timbulnya kaki diabetik dengan menurunkan jumlah oksigen dan nutrisi yang disuplai ke kulit maupun jaringan lain, sehingga menyebabkan luka tidak sembuh-sembuh.
Kondisi kaki diabetik berasal dari suatu kombinasi dari beberapa penyebab seperti sirkulasi darah yang buruk dan neuropati. Berbagai kelainan seperti neuropati, angiopati yang merupakan faktor endogen dan trauma serta infeksi yang merupakan faktor eksogen yang berperan terhadap terjadinya kaki diabetik.
Angiopati diabetes disebabkan oleh beberapa faktor yaitu genetik, metabolik dan faktor risiko yang lain. Kadar glukosa yang tinggi (hiperglikemia) ternyata mempunyai dampak negatif yang luas bukan hanya terhadap metabolisme karbohidrat, tetapi juga terhadap metabolisme protein dan lemak yang dapat menimbulkan pengapuran dan penyempitan pembuluh darah (aterosklerosis), akibatnya terjadi gaangguan peredaran pembuluh darah besar dan kecil., yang mengakibatkan sirkulasi darah yang kurang baik, pemberian makanan dan oksigenasi kurang dan mudah terjadi penyumbatan aliran darah terutama derah kaki.
Neuropati diabetik dapat menyebabkan insensitivitas atau hilangnya kemampuan untuk merasakan nyeri, panas, dan dingin. Diabetes yang menderita neuropati dapat berkembang menjadi luka, parut, lepuh, atau luka karena tekanan yang tidak disadari akibat adanya insensitivitas. Apabila cedera kecil ini tidak ditangani, maka akibatnya dapat terjadi komplikasi dan menyebabkan ulserasi dan bahkan amputasi. neuropati juga dapat menyebabkan deformitas seperti Bunion, HammerToes.(ibujarimartil).
D. MANIFESTASI KLINIS :
Biasanya di manifestasikan dengan nyeri berat tiba-tiba yang terjadi 1 sampai 4 hari setelah cedera, nyeri disebabkan oleh gas dan edema pada jaringan cedera. Di sekeliling luka tampak normal berwarna terang dan tegang tapi kemudian menjadi gelap, bau busuk cairan keluar dari luka. Gas dan cairan yang tertahan meningkatnya tekanan setempat dan mengganggu pasokan darah dab drainase otot yang trlihat menjadi dan nekrotik.

E. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK :
Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan adalah :
a. Pemeriksaan darah
Pemeriksaan darah meliputi : GDS > 200 mg/dl, gula darah puasa >120 mg/dl dan dua jam post prandial > 200 mg/dl.
b. Urine
Pemeriksaan didapatkan adanya glukosa dalam urine. Pemeriksaan dilakukan dengan cara Benedict ( reduksi ). Hasil dapat dilihat melalui perubahan warna pada urine : hijau ( + ), kuning ( ++ ), merah ( +++ ), dan merah bata ( ++++ ).

F. PENATALAKSANAAN :
Pencegahan kaki diabetes tidak terlepas dari pengendalian (pengontrolan) penyakit secara umum mencakup pengendalian kadar gula darah, status gizi, tekanan darah, kadar kolesterol, pola hidup sehat. Sedang untuk pencegahan dan perawatan lokal pada kaki sebagai berikut:
• Diagnosis klinis dan laboratorium yang lebih teliti.
• Pemberian obat-obat yang tepat untuk infeksi (menurut hasil laboratorium lengkap) dan obat vaskularisasi, obat untuk penurunan gula darah, maupun untuk menghilangkan keluhan/gejala dan penyulit DM.
• Pemberian penyuluhan pada penderita dan keluarga tentang (apakah DM, penatalaksanaan DM secara umum, apakah kaki diabetes, obat-obatan, perencanaan makan, DM dan kegiatan jasmani), dll.
• Kaki diabetes, materi penyuluhan dan instruksi. Hentikan merokok Periksa kaki dan celah kaki setiap hari, apakah terdapat kalus (pengerasan), bula (gelembung), luka, lecet.
• Bersihkan dan cuci kaki setiap hari, keringkan, terutama di celah jari kaki.
• Pakailah krim khusus untuk kulit kering, tapi jangan dipakai di celah jari kaki.
• Hindari penggunaan air panas atau bantal pemanas.
• Memotong kuku secara hati-hati dan jangan terlalu dalam.
• Pakailah kaus kaki yang pas bila kaki terasa dingin dan ganti setiap hari.
• Jangan berjalan tanpa alas kaki.
• Hindari trauma berulang.
• Memakai sepatu dari kulit yang sesuai untuk kaki dan nyaman dipakai.
• Periksa bagian dalam sepatu setiap hari sebelum memakainya, hindari adanya benda asing.
• Olah raga teratur dan menjaga berat badan ideal.
• Menghindari pemakaian obat yang bersifat vasokonstruktor seperti orgat, adrenalin, ataupun nikotin.
• Periksakan diri secara rutin ke dokter dan periksakan kaki setiap kali kontrol walaupun ulkus/gangren telah sembuh.




Asuhan keperawatan
Dalam memberikan asuhan keperawatan pada pasien gangren kaki diabetik hendaknya dilakukan secara komperhensif dengan menggunakan proses keperawatan.
Proses keperawatan adalah suatu metode sistematik untuk mengkaji respon manusia terhadap masalah-masalah dan membuat rencana keperawatan yang bertujuan untuk mengatasi masalah – masalah tersebut. Masalah-masalah kesehatan dapat berhubungan dengan klien keluarga juga orang terdekat atau masyarakat. Proses keperawatan mendokumentasikan kontribusi perawat dalam mengurangi / mengatasi masalah-masalah kesehatan.
Proses keperawatan terdiri dari lima tahapan, yaitu : pengkajian, diagnosa keperawatan, perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi.
1. Pengkajian
Pengkajian merupakan langkah utama dan dasar utama dari proses keperawatan yang mempunyai dua kegiatan pokok, yaitu :
a. Pengumpulan data
Pengumpulan data yang akurat dan sistematis akan membantu dalam menentukan status kesehatan dan pola pertahanan penderita , mengidentifikasikan, kekuatan dan kebutuhan penderita yang dapt diperoleh melalui anamnese, pemeriksaan fisik, pemerikasaan laboratorium serta pemeriksaan penunjang lainnya.
1. Anamnese
a. Identitas penderita
Meliputi nama, umur, jenis kelamin, agama, pendidikan, pekerjaan, alamat, status perkawinan, suku bangsa, nomor register, tanggal masuk rumah sakit dan diagnosa medis.
b. Keluhan Utama
Adanya rasa kesemutan pada kaki / tungkai bawah, rasa raba yang menurun, adanya luka yang tidak sembuh – sembuh dan berbau, adanya nyeri pada luka.

c. Riwayat kesehatan sekarang
Berisi tentang kapan terjadinya luka, penyebab terjadinya luka serta upaya yang telah dilakukan oleh penderita untuk mengatasinya.
d. Riwayat kesehatan dahulu
Adanya riwayat penyakit DM atau penyakit – penyakit lain yang ada kaitannya dengan defisiensi insulin misalnya penyakit pankreas. Adanya riwayat penyakit jantung, obesitas, maupun arterosklerosis, tindakan medis yang pernah di dapat maupun obat-obatan yang biasa digunakan oleh penderita.
e. Riwayat kesehatan keluarga
Dari genogram keluarga biasanya terdapat salah satu anggota keluarga yang juga menderita DM atau penyakit keturunan yang dapat menyebabkan terjadinya defisiensi insulin misal hipertensi, jantung.
f. Riwayat psikososial
Meliputi informasi mengenai prilaku, perasaan dan emosi yang dialami penderita sehubungan dengan penyakitnya serta tanggapan keluarga terhadap penyakit penderita.
2. Pemeriksaan fisik
a. Status kesehatan umum
Meliputi keadaan penderita, kesadaran, suara bicara, tinggi badan, berat badan dan tanda – tanda vital.
b. Kepala dan leher
Kaji bentuk kepala, keadaan rambut, adakah pembesaran pada leher, telinga kadang-kadang berdenging, adakah gangguan pendengaran, lidah sering terasa tebal, ludah menjadi lebih kental, gigi mudah goyah, gusi mudah bengkak dan berdarah, apakah penglihatan kabur / ganda, diplopia, lensa mata keruh.
c. Sistem integumen
Turgor kulit menurun, adanya luka atau warna kehitaman bekas luka, kelembaban dan shu kulit di daerah sekitar ulkus dan gangren, kemerahan pada kulit sekitar luka, tekstur rambut dan kuku.
d. Sistem pernafasan
Adakah sesak nafas, batuk, sputum, nyeri dada. Pada penderita DM mudah terjadi infeksi.
e. Sistem kardiovaskuler
Perfusi jaringan menurun, nadi perifer lemah atau berkurang, takikardi/bradikardi, hipertensi/hipotensi, aritmia, kardiomegalis.
f. Sistem gastrointestinal
Terdapat polifagi, polidipsi, mual, muntah, diare, konstipasi, dehidrase, perubahan berat badan, peningkatan lingkar abdomen, obesitas.
g. Sistem urinary
Poliuri, retensio urine, inkontinensia urine, rasa panas atau sakit saat berkemih.
h. Sistem muskuloskeletal
Penyebaran lemak, penyebaran masa otot, perubahn tinggi badan, cepat lelah, lemah dan nyeri, adanya gangren di ekstrimitas.
i. Sistem neurologis
Terjadi penurunan sensoris, parasthesia, anastesia, letargi, mengantuk, reflek lambat, kacau mental, disorientasi.
3. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan adalah :
a. Pemeriksaan darah
Pemeriksaan darah meliputi : GDS > 200 mg/dl, gula darah puasa >120 mg/dl dan dua jam post prandial > 200 mg/dl.
b. Urine
Pemeriksaan didapatkan adanya glukosa dalam urine. Pemeriksaan dilakukan dengan cara Benedict ( reduksi ). Hasil dapat dilihat melalui perubahan warna pada urine : hijau ( + ), kuning ( ++ ), merah ( +++ ), dan merah bata ( ++++ ).
c. Kultur pus
Mengetahui jenis kuman pada luka dan memberikan antibiotik yang sesuai dengan jenis kuman.

b. Analisa Data
Data yang sudah terkumpul selanjutnya dikelompokan dan dilakukan analisa serta sintesa data. Dalam mengelompokan data dibedakan atas data subyektif dan data obyektif dan berpedoman pada teori Abraham Maslow yang terdiri dari :
1. Kebutuhan dasar atau fisiologis
2. Kebutuhan rasa aman
3. Kebutuhan cinta dan kasih sayang
4. Kebutuhan harga diri
5. Kebutuhan aktualisasi diri
Data yang telah dikelompokkan tadi di analisa sehingga dapat diambil kesimpulan tentang masalah keperawatan dan kemungkinan penyebab, yang dapat dirumuskan dalam bentuk diagnosa keperawatan meliputi aktual, potensial, dan kemungkinan.
2. Diagnosa keperawatan
Diagnosa keperawatan adalah penilaian klinis tentang respon individu, keluarga atau komunitas terhadap proses kehidupan/ masalah kesehatan. Aktual atau potensial dan kemungkinan dan membutuhkan tindakan keperawatan untuk memecahkan masalah tersebut.
Adapun diagnosa keperawatan yang muncul pada pasien gangren kaki diabetik adalah sebagai berikut :
1. Gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan melemahnya / menurunnya aliran darah ke daerah gangren akibat adanya obstruksi pembuluh darah.
2. Gangguan integritas jaringan berhubungan dengan adanya gangren pada ekstrimitas.
3. Gangguan rasa nyaman ( nyeri ) berhubungan dengan iskemik jaringan.
4. Keterbatasan mobilitas fisik berhubungan dengan rasa nyeri pada luka.
5. Gangguan pemenuhan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake makanan yang kurang.
3. Perencanaan
Setelah merumuskan diagnosa keperawatan, maka intervensi dan aktivitas keperawatan perlu ditetapkan untuk mengurangi, menghilangkan, dan mencegah masalah keperawatan penderita. Tahapan ini disebut perencanaan keperawatan yang meliputi penentuan prioritas, diagnosa keperawatan, menetapkan sasaran dan tujuan, menetapkan kriteria evaluasi dan merumuskan intervensi dan aktivitas keperawatan.
a. Diagnosa no. 1
Gangguan perfusi berhubungan dengan melemahnya/menurunnya aliran darah ke daerah gangren akibat adanya obstruksi pembuluh darah.
Tujuan : mempertahankan sirkulasi perifer tetap normal.
Kriteria Hasil : - Denyut nadi perifer teraba kuat dan reguler
- Warna kulit sekitar luka tidak pucat/sianosis
- Kulit sekitar luka teraba hangat.
- Oedema tidak terjadi dan luka tidak bertambah parah.
- Sensorik dan motorik membaik
Rencana tindakan :
1. Ajarkan pasien untuk melakukan mobilisasi
Rasional : dengan mobilisasi meningkatkan sirkulasi darah.
2. Ajarkan tentang faktor-faktor yang dapat meningkatkan aliran darah :
Tinggikan kaki sedikit lebih rendah dari jantung ( posisi elevasi pada waktu istirahat ), hindari penyilangkan kaki, hindari balutan ketat, hindari penggunaan bantal, di belakang lutut dan sebagainya.
Rasional : meningkatkan melancarkan aliran darah balik sehingga tidak terjadi oedema.
3. Ajarkan tentang modifikasi faktor-faktor resiko berupa :
Hindari diet tinggi kolestrol, teknik relaksasi, menghentikan kebiasaan merokok, dan penggunaan obat vasokontriksi.
Rasional : kolestrol tinggi dapat mempercepat terjadinya arterosklerosis, merokok dapat menyebabkan terjadinya vasokontriksi pembuluh darah, relaksasi untuk mengurangi efek dari stres.
4. Kerja sama dengan tim kesehatan lain dalam pemberian vasodilator, pemeriksaan gula darah secara rutin dan terapi oksigen ( HBO ).
Rasional : pemberian vasodilator akan meningkatkan dilatasi pembuluh darah sehingga perfusi jaringan dapat diperbaiki, sedangkan pemeriksaan gula darah secara rutin dapat mengetahui perkembangan dan keadaan pasien, HBO untuk memperbaiki oksigenasi daerah ulkus/gangren.
b. Diagnosa no. 2
Ganguan integritas jaringan berhubungan dengan adanya gangren pada ekstrimitas.
Tujuan : Tercapainya proses penyembuhan luka.
Kriteria hasil : 1.Berkurangnya oedema sekitar luka.
2. pus dan jaringan berkurang
3. Adanya jaringan granulasi.
4. Bau busuk luka berkurang.
Rencana tindakan :
1. Kaji luas dan keadaan luka serta proses penyembuhan.
Rasional : Pengkajian yang tepat terhadap luka dan proses penyembuhan akan membantu dalam menentukan tindakan selanjutnya.
2. Rawat luka dengan baik dan benar : membersihkan luka secara abseptik menggunakan larutan yang tidak iritatif, angkat sisa balutan yang menempel pada luka dan nekrotomi jaringan yang mati.
Rasional : merawat luka dengan teknik aseptik, dapat menjaga kontaminasi luka dan larutan yang iritatif akan merusak jaringan granulasi tyang timbul, sisa balutan jaringan nekrosis dapat menghambat proses granulasi.
3. Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian insulin, pemeriksaan kultur pus pemeriksaan gula darah pemberian anti biotik.
Rasional : insulin akan menurunkan kadar gula darah, pemeriksaan kultur pus untuk mengetahui jenis kuman dan anti biotik yang tepat untuk pengobatan, pemeriksaan kadar gula darahuntuk mengetahui perkembangan penyakit.

c. Diagnosa no. 3
Ganguan rasa nyaman ( nyeri ) berhubungan dengan iskemik jaringan.
Tujuan : rasa nyeri hilang/berkurang
Kriteria hasil :
1.Penderita secara verbal mengatakan nyeri berkurang/hilang .
2. Penderita dapat melakukan metode atau tindakan untuk mengatasi atau mengurangi nyeri .
3. Pergerakan penderita bertambah luas.
4. Tidak ada keringat dingin, tanda vital dalam batas normal.( S : 36 – 37,5 0C, N: 60 – 80 x /menit, T : 100 – 130 mmHg, RR : 18 – 20 x /menit ).





Rencana tindakan :
1. Kaji tingkat, frekuensi, dan reaksi nyeri yang dialami pasien.
Rasional : untuk mengetahui berapa berat nyeri yang dialami pasien.
2. Jelaskan pada pasien tentang sebab-sebab timbulnya nyeri.
Rasional : pemahaman pasien tentang penyebab nyeri yang terjadi akan mengurangi ketegangan pasien dan memudahkan pasien untuk diajak bekerjasama dalam melakukan tindakan.
3. Ciptakan lingkungan yang tenang.
Rasional : Rangasanga yang berlebihan dari lingkungan akan memperberat rasa nyeri.
4. Ajarkan teknik distraksi dan relaksasi.
Rasional : Teknik distraksi dan relaksasi dapat mengurangi rasa nyeri yang dirasakan pasien.
5. Atur posisi pasien senyaman mungkin sesuai keinginan pasien.
Rasional : Posisi yang nyaman akan membantu memberikan kesempatan pada otot untuk relaksasi seoptimal mungkin.
6. Lakukan massage dan kompres luka dengan BWC saat rawat luka.
Rasional : massage dapat meningkatkan vaskulerisasi dan pengeluaran pus sedangkan BWC sebagai desinfektan yang dapat memberikan rasa nyaman.
7. Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian analgesik.
Rasional : Obat –obat analgesik dapat membantu mengurangi nyeri pasien.







d. Diagnosa no. 4
Keterbatasan mobilitas fisik berhubungan dengan rasa nyeri pada luka di kaki.
Tujuan : Pasien dapat mencapai tingkat kemampuan aktivitas yang optimal.
Kriteria Hasil : 1. Pergerakan paien bertambah luas
2. Pasien dapat melaksanakan aktivitas sesuai dengan kemampuan ( duduk, berdiri, berjalan ).
3. Rasa nyeri berkurang.
4. Pasien dapat memenuhi kebutuhan sendiri secara bertahap sesuai dengan kemampuan.
Rencana tindakan :
1. Kaji dan identifikasi tingkat kekuatan otot pada kaki pasien.
Rasional : Untuk mengetahui derajat kekuatan otot-otot kaki pasien.
2. Beri penjelasan tentang pentingnya melakukan aktivitas untuk menjaga kadar gula darah dalam keadaan normal.
Rasional : Pasien mengerti pentingnya aktivitas sehingga dapat kooperatif dalam tindakan keperawatan.
3. Anjurkan pasien untuk menggerakkan/mengangkat ekstrimitas bawah sesui kemampuan.
Rasional : Untuk melatih otot – otot kaki sehingg berfungsi dengan baik.
4. Bantu pasien dalam memenuhi kebutuhannya.
Rasional : Agar kebutuhan pasien tetap dapat terpenuhi.
5. Kerja sama dengan tim kesehatan lain : dokter ( pemberian analgesik ) dan tenaga fisioterapi.
Rasional : Analgesik dapat membantu mengurangi rasa nyeri, fisioterapi untuk melatih pasien melakukan aktivitas secara bertahap dan benar.




e. Diagnosa no. 5
Gangguan pemenuhan nutrisi ( kurang dari ) kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake makanan yang kurang.
Tujuan : Kebutuhan nutrisi dapat terpenuhi
Kriteria hasil : 1. Berat badan dan tinggi badan ideal.
2. Pasien mematuhi dietnya.
3. Kadar gula darah dalam batas normal.
4. Tidak ada tanda-tanda hiperglikemia/hipoglikemia.
Rencana Tindakan :
1. Kaji status nutrisi dan kebiasaan makan.
Rasional : Untuk mengetahui tentang keadaan dan kebutuhan nutrisi pasien sehingga dapat diberikan tindakan dan pengaturan diet yang adekuat.

2. Anjurkan pasien untuk mematuhi diet yang telah diprogramkan.
Rasional : Kepatuhan terhadap diet dapat mencegah komplikasi terjadinya hipoglikemia/hiperglikemia.
3. Timbang berat badan setiap seminggu sekali.
Rasional : Mengetahui perkembangan berat badan pasien ( berat badan merupakan salah satu indikasi untuk menentukan diet ).
4. Identifikasi perubahan pola makan.
Rasional : Mengetahui apakah pasien telah melaksanakan program diet yang ditetapkan.
5. Kerja sama dengan tim kesehatan lain untuk pemberian insulin dan diet diabetik.
Rasional : Pemberian insulin akan meningkatkan pemasukan glukosa ke dalam jaringan sehingga gula darah menurun,pemberian diet yang sesuai dapat mempercepat penurunan gula darah dan mencegah komplikasi.



4. Pelaksanaan
Pelaksanaan adalah tahap pelaksananan terhadap rencana tindakan keperawatan yang telah ditetapkan untuk perawat bersama pasien. Implementasi dilaksanakan sesuai dengan rencana setelah dilakukan validasi, disamping itu juga dibutuhkan ketrampilan interpersonal, intelektual, teknikal yang dilakukan dengan cermat dan efisien pada situasi yang tepat dengan selalu memperhatikan keamanan fisik dan psikologis. Setelah selesai implementasi, dilakukan dokumentasi yang meliputi intervensi yang sudah dilakukan dan bagaimana respon pasien.

5. Evaluasi
Evaluasi merupakan tahap terakhir dari proses keperawatan. Kegiatan evaluasi ini adalah membandingkan hasil yang telah dicapai setelah implementasi keperawatan dengan tujuan yang diharapkan dalam perencanaan.
Perawat mempunyai tiga alternatif dalam menentukan sejauh mana tujuan tercapai:
1. Berhasil : prilaku pasien sesuai pernyatan tujuan dalam waktu atau tanggal yang ditetapkan di tujuan.
2. Tercapai sebagian : pasien menunujukan prilaku tetapi tidak sebaik yang ditentukan dalam pernyataan tujuan.
3. Belum tercapai. : pasien tidak mampu sama sekali menunjukkan prilaku yang diharapakan sesuai dengan pernyataan tujuan.



DAFTAR PUSTAKA

1. Doenges, E. M, Mary F.M, Alice C.G, (2002), Rencana Asuhan Keperawatan, EGC, Jakarta.
2.Smeltzer C. Suzanne, Bare G. Brendo, (2002), Keperawatan Medikal Bedah, vol. 3, EGC : Jakarta.
3.Price A. S, Wilson M. Lorraine, (1995), Patofisiologi, vol. 2, EGC : Jakarta.
4.Hoffbrand V.A, Pettit E.J, (1996), Kapita Selekta Hematologi, EGC : Jakarta.
5.Hall and Guyton, (1997), Fisiologi Kedokteran, EGC : Jakarta.
6.Noer Sjaifullah H. M, (1999), Ilmu Penyakit Dalam, jilid II, FKUI, Jakarta.

ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN GANGGUAN ISOLASI SOSIAL : MENARIK DIRI

A. KONSEP DASAR
Isolasi adalah keadaan dimana individu atau kelompok mengalami atau merasakan kebutuhan atau keinginan untuk meningkatkan keterlibatan dengan orang lain tetapi tidak mampu untuk membuat kontak ( Carpenito, 1998 )
Isolasi sosial adalah suatu keadaan kesepian yang dialami oleh seseorang karena orang lain menyatakan sikap yang negatif dan mengancam (Towsend,1998)
Seseorang dengan perilaku menarik diri akan menghindari interaksi dengan orang lain. Individu merasa bahwa ia kehilangan hubungan akrab dan tidak mempunyai kesempatan untuk membagi perasaan, pikiran dan prestasi atau kegagalan. Ia mempunyai kesulitan untuk berhubungan secara spontan dengan orang lain, yang dimanivestasikan dengan sikap memisahkan diri, tidak ada perhatian dan tidak sanggup membagi pengalaman dengan orang lain (DepKes, 1998)

B. FAKTOR PREDISPOSISI DAN PRESIPITASI
Faktor predisposisi terjadinya perilaku menarik diri adalah kegagalan perkembangan yang dapat mengakibatkan individu tidak percaya diri, tidak percaya orang lain, ragu takut salah, putus asa terhadap hubungan dengan orang lain, menghindar dari orang lain, tidak mampu merumuskan keinginan dan meresa tertekan.
Sedangkan faktor presipitasi dari faktor sosio-cultural karena menurunnya stabilitas keluarga dan berpisah karena meninggal dan fakto psikologis seperti berpisah dengan orang yang terdekat atau kegagalan orang lain untuk bergantung, merasa tidak berarti dalam keluarga sehingga menyebabkan klien berespons menghindar dengan menarik diri dari lingkungan (Stuart and Suddarth, 1995).

C. TANDA DAN GEJALA
Observasi yang dilakukan pada klien akan ditemukan (data objektif) :
1. Apatis, ekspresi, afek tumpul.
2. Menghindar dari orang lain (menyendiri) klien tampak memisahkan diri dari orang lain.
3. Komunikasi kurang atau tidak ada. Klien tidak tampak bercakap-cakap dengan klien lain atau perawat.
4. Tidak ada kontak mata, klien lebih sering menunduk.
5. Berdiam diri di kamar/tempat berpisah – klien kurang mobilitasnya.
6. Menolak hubungan dengan orang lain – klien memutuskan percakapan atau pergi jika diajak bercakap-cakap.
7. Tidak melakukan kegiatan sehari-hari, artinya perawatan diri dan kegiatan rumah tangga sehari-hari tidak dilakukan.
8. Posisi janin pada saat tidur.
9. Data subjektif sukar didapat jika klien menolak berkomunikasi, beberapa data subjektif adalah menjawab dengan singkat kata-kata “tidak”, “ya”, “tidak tahu”.

D. KAREKTERISTIK PERILAKU
1. Gangguan pola makan : tidak nafsu makan atau makan berlebihan.
2. Berat badan menurun atau meningkat secara drastis.
3. Kemunduran secara fisik.
4. Tidur berlebihan.
5. Tinggal di tempat tidur dalam waktu yang lama.
6. Banyak tidur siang.
7. Kurang bergairah.
8. Tidak memperdulikan lingkungan.
9. Kegiatan menurun.
10. Immobilisasai.
11. Mondar-mandir (sikap mematung, melakukan gerakan berulang).
12. Keinginan seksual menurun.

KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN KESEHATAN JIWA PADA KLIEN DENGAN GANGGUAN ISOLASI SOSIAL ; MENARIK DIRI.
I. Deskripsi
Tanggapan atau deskripsi tentang isolasi yaitu suatu keadaan kesepian yang dialami oleh seseorang karena orang lain menyatakan sikap yang negatif dan mengancam (Towsend, 1998).
Seseorang dengan perilaku menarik diri akan menghindari interaksi dengan orang lain.

II. Pengkajian
Pengelompokan data pada pengkajian kesehatan jiwa berupa faktor presipitasi, penilaian stressor , suberkoping yang dimiliki klien. Setiap melakukan pengajian ,tulis tempat klien dirawat da tanggal dirawat isi pengkajian meliputi :

a. Identitas Klien
Meliputi nama klien , umur , jenis kelamin , status perkawinan, agama, tangggal MRS, informan, tangggal pengkajian, No Rumah klien dan alamat klien.

b. Keluhan Utama
Keluhan biasanya berupa menyediri (menghindar dari orang lain) komunikasi kurang atau tidak ada , berdiam diri dikamar ,menolak interaksi dengan orang lain , tidak melakukan kegiatan sehari – hari , dependen.

c. Faktor predisposisi
Kehilangan , perpisahan , penolakan orang tua ,harapan orang tua yang tidak realistis ,kegagalan / frustasi berulang , tekanan dari kelompok sebaya; perubahan struktur sosial.
Terjadi trauma yang tiba tiba misalnya harus dioperasi , kecelakaan dicerai suami , putus sekolah ,PHK, perasaan malu karena sesuatu yang terjadi ( korban perkosaan , tituduh kkn, dipenjara tiba – tiba) perlakuan orang lain yang tidak menghargai klien/ perasaan negatif terhadap diri sendiri yang berlangsung lama.

d. Aspek fisik / biologis
Hasil pengukuran tada vital (TD, Nadi, suhu, Pernapasan , TB, BB) dan keluhan fisik yang dialami oleh klien.

e. Aspek Psikososial
1. Genogram yang menggambarkan tiga generasi
2. Konsep diri

a). Citra tubuh :
Menolak melihat dan menyentuh bagian tubuh yang berubah atau tidak menerima perubahan tubuh yang telah terjadi atau yang akan terjadi. Menolak penjelasan perubahan tubuh , persepsi negatip tentang tubuh. Preokupasi dengan bagia tubuh yang hilang , mengungkapkan keputus asaan, mengungkapkan ketakutan.

b). Identitas diri
Ketidak pastian memandang diri , sukar menetapkan keinginan dan tidak mampu mengambil keputusan .

c). Peran
Berubah atau berhenti fungsi peran yang disebabkan penyakit , proses menua , putus sekolah, PHK.

d). Ideal diri
Mengungkapkan keputus asaan karena penyakitnya : mengungkapkan keinginan yang terlalu tinggi.
e). Harga diri
Perasaan malu terhadap diri sendiri , rasa bersalah terhadap diri sendiri , gangguan hubungan sosial , merendahkan martabat , mencederai diri, dan kurang percaya diri.

3. Klien mempunyai gangguan / hambatan dalam melakukan hubunga sosialdengan orang lain terdekat dalam kehidupan, kelempok yang diikuti dalam masyarakat.

4. Kenyakinan klien terhadap tuhan dan kegiatan untuk ibadah ( spritual)

f). Status Mental
Kontak mata klien kurang /tidak dapat mepertahankan kontak mata , kurang dapat memulai pembicaraan , klien suka menyendiri dan kurang mampu berhubungan denga orang lain , Adanya perasaan keputusasaan dan kurang berharga dalam hidup.

g). Kebutuhan persiapan pulang.
• Klien mampu menyiapkan dan membersihkan alat makan
• Klien mampu BAB dan BAK, menggunakan dan membersihkan WC, membersikan dan merapikan pakaian.
• Pada observasi mandi dan cara berpakaian klien terlihat rapi
• Klien dapat melakukan istirahat dan tidur , dapat beraktivitas didalam dan diluar rumah
• Klien dapat menjalankan program pengobatan dengan benar.

h). Mekanisme Koping
Klien apabila mendapat masalah takut atau tidak mau menceritakan nya pada orang orang lain( lebih sering menggunakan koping menarik diri)

i). Aspek Medik
Terapi yang diterima klien bisa berupa therapy farmakologi ECT, Psikomotor,therapy okopasional, TAK , dan rehabilitas.

III. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa Keperawatan adalah identifikasi atau penilaian pola respons baik aktual maupun potensial (Stuart and Sundeen, 1995)
Masalah keperawatan yang sering muncul yang dapat disimpulkan dari pengkajian adalah sebagai berikut :
1. Isolasi sosial : menarik diri
2. Gangguan konsep diri: harga diri rendah
3. Resiko perubahan sensori persepsi
4. Koping individu yang efektif sampai dengan ketergantungan pada orang lain .
5. Gangguan komunikasi verbal, kurang komunikasi verbal.
6. Intoleransi aktifitas.
7. Kekerasan resiko tinggi.

IV. Pohon Masalah


Diagnosa Keperawatan
1. Resiko perubahan sensori persepsi berhubungan dengan menarik diri.
2. Isolasi sosial : menarik diri berhubungan dengan harga diri rendah
3. Gangguan harga diri : harga diri rendah berhubungan dengan tidak efektifnya koping individu : koping defensif.


V. Tindakan keperawatan
Tindakan keperawatan dalam asuhan keperawatan jiwa berbeda dengan tindakan keperawatan untuk klien dengan penyakit fisik di RSU dalam perawatan kesehatan jiwa. Perawat melakukan tindakan yang bertujuan untuk mengatasi penyebab dari masalah dan daftar masalah diatas dapat diambil salah satu. Contoh masalah keperawatan yaitu : resiko perubahan sensori persepsi berhubungan dengan isolasi sosial : menarik diri.

VI. Rencana Intervensi
Rencana tindakan keperawatan terdiri 3 aspek utama yaitu :

a. Tujuan umum
Berfokus pada penyelesaian permasalahan dari diagnosa. Tujuan umum dapat dicapai jika serangkaia tujuan khusus dapat dicapai.


b. Tujuan khusus
Berfokus pada penyelesaian etiologi dari diagnosa. Tujuan khusus merupakan rumusan kemampuan klien yang perlu dicapai atau dimiliki klien .umumnya kemampuan pada tujuan khusus dapat dibagi menjadi 3 aspek (stuart & sundeen ,1995) yaitu : kemampuan kognitif yang diperlukan untuk menyelesaikan etiologi dari diagnosa keperawatan ,kemampuan psikomotor yang diperlukan agar etiologi dapat selesai dan kemampuan afektif yang perlu dimiliki agar klien percaya akan kemampuan menyelesaiakan masalah.

c. Rencana tindakan keperawatan
Tindakan keperawatan merupakan serangkaian tindakan yang dapat mencapai tujuan khusus. tindakan keperawatan menggambarkan tindakan keperawatan mandiri, kerjasama dengan klien, keluarga, kelompok dan kolaborasi dengan tim kesehatan jiwa lainnya.

VII. Kriteria Evaluasi keperawatan
Kriteria evaluasi dibuat berdasarkan pada tujuan khusus yang terdiri dari beberapa tujuan, masing-masing tujuan tersebut ada kriteria evaluasinya .




















Daftar Pustaka

1. Carpenito, lynda Juall. 1998. Buku saku buku kedokteran EGC : jakarta.

2. Keliat, B.A. 1999. Proses keperawatan kesehatan jiwa, penerbit buku kedokteran EGC : diagnosa keperawatan , Edisi 6, penerbit Jakarta.

3. Short, G.W dan Sandra, J. Sunden. 1998. Buku Saku Keperawatan Jiwa, Edisi 3, penerbit buku kedokteran EGC: Jakarta.

4. Towsend, Mary C. 1998. Buku saku Diagnosa keperawatan psikiatri untuk pembuatan rencana keperawatan, Edisi 3, Penerbit buku kedokteran EGC: Jakarta.

5. Buku Standart keperawatan Kesehatan Jiwa Dan Penerapan Asuhan Keperawatan Pada Kasus di Rumah Sakit Ketergantungan Obat, 1998 Direktorat kesehatan jiwa Direktorat Jenderal Pelayanan medik, Dep-kes RI, Jakarta.

6. Maramis, Wf. (1995) Ilmu Kedokteran Jiwa. Airlangga University press : Surabaya.

ASUHAN KEPERAWATAN KLIEN DENGAN RISIKO BUNUH DIRI

Pendahuluan
Bunuh diri merupakan salah satu bentuk kegawat daruratan psikiatri. Meskipun suicide adalah perilaku yang membutuhkan pengkajian yang komprehensif pada depresi, penyalahgunaan NAPZA , skizofrenia, gangguan kepribadian( paranoid, borderline, antisocial), suicide tidak bisa disamakan dengan penyakit mental. Ada 4 hal yang krusial yang perlu diperhatikan oleh perawat selaku tim kesehatan diantaranya adalah : pertama, suicide merupakan perilaku yang bisa mematikan dalam seting rawat inap di rumah sakit jiwa, Kedua, factor – factor yang berhubungan dengan staf antara lain : kurang adekuatnya pengkajian pasien yang dilakukan oleh perawat, komunikasi staf yang lemah, kurangnya orientasi dan training dan tidak adekuatnya informasi tentang pasien. Ketiga, pengkajian suicide seharusnya dilakukan secara kontinyu selama di rawat di rumah sakit baik saat masuk, pulang maupun setiap perubahan pengobatan atau treatmen lainnya. Keempat, hubungan saling percaya antara perawat dan pasien serta kesadaran diri perawat terhadap cues perilaku pasien yang mendukung terjadinya resiko bunuh diri adalah hal yang penting dalam menurunkan angka suicide di rumah sakit. Oleh karena itu suicide pada pasien rawat inap merupakan masalah yang perlu penanganan yang cepat dan akurat. Pada makalah ini akan dipaparkan mengenai factor resiko terjadinya bunuh diri, instrument pengkajian dan managemen keperawatannya dengan pendekatan proses keperawatanya.

Apa penghalang dan penghambat dalam perawatan klien resiko bunuh diri?
Beberapa hambatan dalam melakukan managemen klien dengan bunuh diri adalah pasien yang dirawat dalam waktu yang cukup singkat sehingga membuat klien kurang mampu mengungkapkan perasaannya tentang bunuh diri. Kurang detailnya tentang pengkajian resiko bunuh diri pada saat masuk dan banyak perawat kurang melakukan skrening akan resiko bunuh diri. Disamping itu 2 dari 3 orang yang melakukan suicide adalah diketahui oleh perawat dalam beberapa bulan sebelumnya. Hal ini mengindikasikan bahwa tenaga kesehatan kurang memberikan intervensi yang adekuat. Lebih lanjut banyak perawat mungkin takut untuk menanyakan tentang masalah bunuh diri pada pasien atau bahkan tidak mengetahui bagaimana untuk menanyakan jika pasien memiliki pikiran untuk melakukan suicide.



Pengertian bunuh diri
Rentang respon perlindungan diri ( self –protective) adalah :

Adatif<...........................................................................>Maladaptif


Self enhancement Growth promoting Indirect self- Self injury Suicide
risk taking destruktive behaviour
Pada umumnya tindakan bunuh diri merupakan cara ekspresi orang yang penuh stress
Perilaku bunuh diri berkembang dalam rentang diantaranya :
• Suicidal ideation, Pada tahap ini merupakan proses contemplasi dari suicide, atau sebuah metoda yang digunakan tanpa melakukan aksi/ tindakan, bahkan klien pada tahap ini tidak akan mengungkapkan idenya apabila tidak ditekan. Walaupun demikian, perawat perlu menyadari bahwa pasien pada tahap ini memiliki pikiran tentang keinginan untuk mati
• Suicidal intent, Pada tahap ini klien mulai berpikir dan sudah melakukan perencanaan yang konkrit untuk melakukan bunuh diri,
• Suicidal threat, Pada tahap ini klien mengekspresikan adanya keinginan dan hasrat yan dalam , bahkan ancaman untuk mengakhiri hidupnya .
• Suicidal gesture, Pada tahap ini klien menunjukkan perilaku destruktif yang diarahkan pada diri sendiri yang bertujuan tidak hanya mengancam kehidupannya tetapi sudah pada percobaan untuk melakukan bunuh diri. Tindakan yang dilakukan pada fase ini pada umumnya tidak mematikan, misalnya meminum beberapa pil atau menyayat pembuluh darah pada lengannya. Hal ini terjadi karena individu memahami ambivalen antara mati dan hidup dan tidak berencana untuk mati. Individu ini masih memiliki kemauan untuk hidup, ingin di selamatkan, dan individu ini sedang mengalami konflik mental. Tahap ini sering di namakan “Crying for help” sebab individu ini sedang berjuang dengan stress yang tidak mampu di selesaikan.
• Suicidal attempt, Pada tahap ini perilaku destruktif klien yang mempunyai indikasi individu ingin mati dan tidak mau diselamatkan misalnya minum obat yang mematikan . walaupun demikian banyak individu masih mengalami ambivalen akan kehidupannya.
• Suicide. Tindakan yang bermaksud membunuh diri sendiri . hal ini telah didahului oleh beberapa percobaan bunuh diri sebelumnya. 30% orang yang berhasil melakukan bunuh diri adalah orang yang pernah melakukan percobaan bunuh diri sebelumnya. Suicide ini yakini merupakan hasil dari individu yang tidak punya pilihan untuk mengatasi kesedihan yang mendalam.
Penyebab Bunuh diri
1. Faktor genetic dan teori biologi
Factor genetic mempengaruhi terjadinya resiko bunuh diri pada keturunannya. Disamping itu adanya penurunan serotonin dapat menyebabkan depresi yang berkontribusi terjadinya resiko buuh diri.
2. Teori sosiologi
Emile Durkheim membagi suicide dalam 3 kategori yaitu : Egoistik (orang yang tidak terintegrasi pada kelompok social) , atruistik (Melakukan suicide untuk kebaikan masyarakat) dan anomic ( suicide karena kesulitan dalam berhubungan dengan orang lain dan beradaptasi dengan stressor).
3. Teori psikologi
Sigmund Freud dan Karl Menninger meyakini bahwa bunuh diri merupakan hasil dari marah yang diarahkan pada diri sendiri.
4. Penyebab lain
 Adanya harapan untuk reuni dan fantasy.
 Merupakan jalan untuk mengakhiri keputusasaan dan ketidakberdayaan
 Tangisan untuk minta bantuan
 Sebuah tindakan untuk menyelamatkan muka dan mencari kehidupan yang lebih baik
Pengkajian resiko bunuh diri
Sebagai perawat perlu mempertimbangkan pasien memiliki resiko apabila menunjukkan perilaku sebagai berikut :
 Menyatakan pikiran, harapan dan perencanaan tentang bunuh diri
 Memiliki riwayat satu kali atau lebih melakukan percobaan bunuh diri.
 .Memilki keluarga yang memiliki riwayat bunuh diri.
 Mengalami depresi, cemas dan perasaan putus asa.
 Memiliki ganguan jiwa kronik atau riwayat penyakit mental
 Mengalami penyalahunaan NAPZA terutama alcohol
 Menderita penyakit fisik yang prognosisnya kurang baik
 Menunjukkan impulsivitas dan agressif
 Sedang mengalami kehilangan yang cukup significant atau kehilangan yang bertubi-tubi dan secara bersamaan
 Mempunyai akses terkait metode untuk melakukan bunuh diri misal pistol, obat, racun.
 Merasa ambivalen tentang pengobatan dan tidak kooperatif dengan pengobatan
 Merasa kesepian dan kurangnya dukungan sosial.
Banyak instrument yang bisa dipakai untuk menentukan resiko klien melakukan bunuh diri diantaranya dengan SAD PERSONS
NO SAD PERSONS Keterangan
1 Sex (jenis kelamin) Laki laki lebih komit melakukan suicide 3 kali lebih tinggi dibanding wanita, meskipun wanita lebih sering 3 kali dibanding laki laki melakukan percobaan bunuh diri
2 Age ( umur) Kelompok resiko tinggi : umur 19 tahun atau lebih muda, 45 tahun atau lebih tua dan khususnya umur 65 tahun lebih.
3 Depression 35 – 79% oran yang melakukan bunuh diri mengalami sindrome depresi.
4 Previous attempts (Percobaan sebelumnya) 65- 70% orang yang melakukan bunuh diri sudah pernah melakukan percobaan sebelumnya
5 ETOH ( alkohol) 65 % orang yang suicide adalah orang menyalahnugunakan alkohol
6 Rational thinking Loss ( Kehilangan berpikir rasional) Orang skizofrenia dan dementia lebih sering melakukan bunuh diri disbanding general populasi
7 Sosial support lacking ( Kurang dukungan social) Orang yang melakukan bunuh diri biasanya kurannya dukungan dari teman dan saudara, pekerjaan yang bermakna serta dukungan spiritual keagaamaan
8 Organized plan ( perencanaan yang teroranisasi) Adanya perencanaan yang spesifik terhadap bunuh diri merupakan resiko tinggi
9 No spouse ( Tidak memiliki pasangan) Orang duda, janda, single adalah lebih rentang disbanding menikah
10 Sickness Orang berpenyakit kronik dan terminal beresiko tinggi melakukan bunuh diri.
Dalam melakukan pengkajian klien resiko bunuh diri, perawat perlu memahami petunjuk dalam melakukan wawancara dengan pasien dan keluarga untuk mendapatkan data yang akurat. Hal – hal yang harus diperhatikan dalam melakukan wawancara adalah :
1. Tentukan tujuan secara jelas.
Dalam melakukan wawancara, perawat tidak melakukan diskusi secara acak, namun demikian perawat perlu melakukannya wawancara yang fokus pada investigasi depresi dan pikiran yang berhubungan dengan bunuh diri.
2. Perhatikan signal / tanda yang tidak disampaikan namun mampu diobservasi dari komunikasi non verbal.
Hal ini perawat tetap memperhatikan indikasi terhadap kecemasan dan distress yang berat serta topic dan ekspresi dari diri klien yang di hindari atau diabaikan.
3. Kenali diri sendiri.
Monitor dan kenali reaksi diri dalam merespon klien, karena hal ini akan mempengaruhi penilaian profesional.
4. Jangan terlalu tergesa – gesa dalam melakukan wawancara. Hal ini perlu membangun hubungan terapeutik yang saling percaya antara perawat dank lien.
5. Jangan membuat asumsi
Jangan membuat asumsi tentang pengalaman masa lalu individu mempengaruhi emosional klien.
6. Jangan menghakimi, karena apabila membiarkan penilaian pribadi akan membuat kabur penilaian profesional.
Data yang perlu dikumpulkan saat pengkajian :
1. Riwayat masa lalu :
 Riwayat percobaan bunuh diri dan mutilasi diri
 Riwayat keluarga terhadap bunuh diri
 Riwayat gangguan mood, penyalahgunaan NAPZA dan skizofrenia
 Riwayat penyakit fisik yang kronik, nyeri kronik.
 Klien yang memiliki riwayat gangguan kepribadian boderline, paranoid, antisosial
 Klien yang sedang mengalami kehilangan dan proses berduka
2. Symptom yang menyertainya
a. Apakah klien mengalami :
 Ide bunuh diri
 Ancaman bunh diri
 Percobaan bunuh diri
 Sindrome mencederai diri sendiri yang disengaja
b. Derajat yang tinggi terhadap keputusasaan, ketidakberdayaan dan anhedonia dimana hal ini merupakan faktor krusial terkait dengan resiko bunuh diri.
Bila individu menyatakan memiliki rencana bagaimana untuk membunuh diri mereka sendiri. Perlu dilakukan penkajian lebih mendalam lagi diantaranya :
 Cari tahu rencana apa yang sudah di rencanakan
 Menentukan seberapa jauh klien sudah melakukan aksinya atau perencanaan untuk melakukan aksinya yang sesuai dengan rencananya.
 Menentukan seberapa banyak waktu yang di pakai pasien untuk merencanakan dan mengagas akan suicide
 Menentukan bagaiamana metoda yang mematikan itu mampu diakses oleh klien.
Hal – hal yang perlu diperhatikan didalam melakukan pengkajian tentang riwayat kesehatan mental klien yang mengalami resiko bunuh diri :
 Menciptakan hubungan saling percaya yang terapeutik
 Memilih tempat yang tenang dan menjaga privacy klien
 Mempertahankan ketenangan, suara yang tidak mengancam dan mendorong komunikasi terbuka.
 Menentukan keluhan utama klien dengan menggunakan kata – kata yang dimengerti klien
 Mendiskuiskan gangguan jiwa sebelumnya dan riwayat pengobatannya
 Mendaptakan data tentang demografi dan social ekonomi
 Mendiskusikan keyakinan budaya dan keagamaan
 Peroleh riwayat penyakit fisik klien

Diagnosa Keperawatan
Resiko Bunuh diri
Pengertian : Resiko untuk mencederai diri yang mengancam kehidupan
NOC
Impulse Control, Suicide Self-Restraint
Tujuan
Klien tidak melakukan percobaan bunuh diri
Indicator
• Menyatakan harapannya untuk hidup
• Menyatakan perasaan marah, kesepian dan keputusasaan secara asertif.
• Mengidentifikasi orang lain sebagai sumber dukungan bila pikiran bunuh diri muncul.
• Mengidentifikasi alaternatif mekanisme coping
NIC
Active Listening, Coping Enhancement, Suicide Prevention, Impulse Control Training, Behavior Management: Self-Harm, Hope Instillation, Contracting, Surveillance: Safety
Aktivitas keperawatan secara umum :
1. Bantu klien untuk menurunkan resiko perilaku destruktif yang diarahkan pada diri sendiri, dengan cara :
 Kaji tingkatan resiko yang di alami pasien : tinggi, sedang, rendah.
 Kaji level Long-Term Risk yang meliputi : Lifestyle/ gaya hidup, dukungan social yang tersedia, rencana tindakan yang bisa mengancam kehidupannya, koping mekanisme yang biasa digunakan.
2. Berikan lingkungan yang aman ( safety) berdasarkan tingkatan resiko , managemen untuk klien yang memiliki resiko tinggi;
 Orang yang ingin suicide dalam kondisi akut seharusnya ditempatkan didekat ruang perawatan yang mudah di monitor oleh perawat.
 Mengidentifikasi dan mengamankan benda – benda yang dapat membahayakan klien misalnya : pisau, gunting, tas plastic, kabel listrik, sabuk, hanger dan barang berbahaya lainnya.
 Membuat kontrak baik lisan maupun tertulis dengan perawat untuk tidak melakukan tindakan yang mencederai diri Misalnya : ”Saya tidak akan mencederai diri saya selama di RS dan apabila muncul ide untuk mencederai diri akan bercerita terhadap perawat.”
 Makanan seharusnya diberikan pada area yang mampu disupervisi dengan catatan :
o Yakinkan intake makanan dan cairan adekuat
o Gunakan piring plastik atau kardus bila memungkinkan.
o Cek dan yakinkan kalau semua barang yang digunakan pasien kembali pada tempatnya.
 Ketika memberikan obat oral, cek dan yakinkan bahwa semua obat diminum.
 Rancang anggota tim perawat untuk memonitor secara kontinyu.
 Batasi orang dalam ruangan klien dan perlu adanya penurunan stimuli.
 Instruksikan pengunjung untuk membantasi barang bawaan ( yakinkan untuk tidak memberikan makanan dalam tas plastic)
 Pasien yang masih akut diharuskan untuk selalu memakai pakaian rumah sakit.
 Melakukan seklusi dan restrain bagi pasien bila sangat diperlukan
 Ketika pasien sedang diobservasi, seharusnya tidak menggunakan pakaian yang menutup seluruh tubuhnya. Perlu diidentifikasi keperawatan lintas budaya.
 Individu yang memiliki resiko tinggi mencederai diri bahkan bunuh diri perlu adanya komunikasi oral dan tertulis pada semua staf.
3. Membantu meningkatkan harga diri klien
 Tidak menghakimi dan empati
 Mengidentifikasi aspek positif yang dimilikinya
 Mendorong berpikir positip dan berinteraksi dengan orang lain
 Berikan jadual aktivitas harian yang terencana untuk klien dengan control impuls yang rendah
 Melakukan terapi kelompok dan terapi kognitif dan perilaku bila diindikasikan.
4. Bantu klien untuk mengidentifikasi dan mendapatkan dukungan social
• Informasikan kepada keluarga dan saudara klien bahwa klien membutuhkan dukungan social yang adekuat
• Bersama pasien menulis daftar dukungan sosial yang di punyai termasuk jejaring sosial yang bisa di akses.
• Dorong klien untuk melakukan aktivitas social
5. Membantu klien mengembangkan mekanisme koping yang positip.
• Mendorong ekspresi marah dan bermusuhan secara asertif
• Lakukan pembatasan pada ruminations tentang percobaan bunuh diri.
• Bantu klien untuk mengetahui faktor predisposisi ‘ apa yang terjadi sebelum anda memiliki pikiran bunuh diri’
• Memfasilitasi uji stress kehidupan dan mekanisme koping
• Explorasi perilaku alternative
• Gunakan modifikasi perilaku yang sesuai
• Bantu klien untuk mengidentifikasi pola piker yang negative dan mengarahkan secara langsung untuk merubahnya yang rasional.
7. Initiate Health Teaching dan rujukan, jika diindikasikan
 Memberikan pembelajaran yan menyiapkan orang mengatasi stress (relaxation, problem-solving skills).
 Mengajari keluarga technique limit setting
 Mengajari keluarga ekspresi perasaan yang konstruktif
 Intruksikan keluarga dan orang lain untuk mengetahui peningkatan resiko : perubahan perilaku, komunikasi verbal dan nonverbal, menarik diri, tanda depresi.










Daftar Pustaka
CAPTAIN, C, ( 2008). Assessing suicide risk, Nursing made incredibly easy, Volume 6(3), May/June 2008, p 46–53

Varcarolis, E M (2000). Psychiatric Nursing Clinical Guide, WB Saunder Company, Philadelphia.

Stuart, GW and Laraia (2005). Principles and practice of psychiatric nursing, 8ed. Elsevier Mosby, Philadelphia

Shives, R (2008). Basic concept of psychiatric and Mental Health Nursing, Mosby, St Louis.

Kaplan and Saddock (2005). Comprehensive textbook of Psychiatry, Mosby, St Louis.
Carpenito, LJ (2008). Nursing diagnosis : Aplication to clinical practice, Mosby St Louis.